oleh: Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID
Di kota Solok, seorang guru bernama Yuniarti menghadapi tantangan besar dalam upayanya untuk membuat perubahan dalam sistem pendidikan. Sebagai seorang pendidik, Yuniarti selalu memperhatikan bagaimana perkembangan teknologi informasi memengaruhi metode pengajaran dan pembelajaran. Namun, ia menyadari bahwa tidak semua guru siap menghadapi perubahan ini.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Yuniarti adalah banyak rekan kerjanya yang kesulitan beradaptasi dengan teknologi. Di sisi lain, para siswa cenderung menggunakan teknologi untuk bermain game dan media sosial daripada untuk belajar, seringkali tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.
Melihat situasi ini, Yuniarti merasa perlu melakukan sesuatu yang berbeda. Ia percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang bisa dilakukannya sebagai seorang pendidik. Ia berusaha untuk mendukung proses pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa dan mudah untuk diterapkan oleh para guru, salah satunya dengan mengadopsi program yang dijalankan oleh SociopreneurID. Proses ini tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran tetapi juga membangun kerjasama yang lebih erat antara guru dan siswa. Siswa mulai menunjukkan minat yang lebih besar dalam belajar dan merasa lebih terlibat karena metode pengajaran yang lebih interaktif dan menarik.
Yuniarti percaya bahwa perubahan bisa dimulai oleh siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Kiprahnya sebagai seorang pendidik dimulai sejak lama. Impian Yuniarti untuk menjadi guru tertanam dalam hatinya sejak duduk di kelas 2 SD. Awalnya, ia bercita-cita menjadi dokter, namun ketika ayahnya meninggal saat ia kelas 3 SD, cita-citanya berubah menjadi guru. Kebiasaan mengajar ini tumbuh secara alami seiring waktu. Di SMP dan SMA, ia memiliki jadwal kelas pagi dan siang. Ketika tidak bersekolah di pagi hari, ia merawat adik-adiknya dan sepupu-sepupunya, mengajarkan kepada mereka kebiasaan-kebiasaan kecil seperti mandi, menyikat gigi, memotong kuku, menyisir rambut, dan berhitung.
Di SMA, gurunya sering meminta Yuniarti untuk belajar lebih dulu dan menceritakan kepada teman-temannya apa yang telah dipelajarinya keesokan harinya. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini menanamkan semangat mendidik dalam dirinya. Setelah lulus SMA, ia memiliki pilihan untuk melanjutkan kuliah atau tidak. Tanpa diduga, ia menemukan pilihan untuk mengambil pendidikan guru SD yang hanya berlangsung dua tahun. Ia memilihnya tanpa ragu.
Setelah dua setengah tahun atau lima semester, Yuniarti menjadi seorang guru. Meskipun sebagai lulusan SMA, kemampuan mengajarnya mungkin belum sempurna, namun tekadnya dan pengalaman mengajar di daerah pedesaan membawanya kembali kepada kebiasaan-kebiasaan kecil dalam mendidik. Ia mengajarkan kepada anak-anak yang tinggal jauh di atas bukit bukan hanya keterampilan akademik seperti membaca, tetapi juga bagaimana cara merawat diri mereka, terutama ketika seorang gadis menghadapi menstruasi pertamanya.
Yuniarti tidak hanya mengajarkan keterampilan seperti membaca dan matematika, tetapi ia memulai dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari. Rasa mendidik tumbuh lebih kuat karena pendidikan karakter terbaik diberikan pada usia dini. Ia selalu berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri, terus meningkatkan pengetahuannya melalui pendidikan yang lebih tinggi. Dari gelar D2, ia melanjutkan ke S1, kemudian mengambil pendidikan profesi, hingga meraih gelar S2. Kegigihannya dan kerja kerasnya membuahkan hasil. Mengajar dengan hati berarti menunjukkan dedikasinya melalui tindakan, bukan hanya kata-kata.
Ia selalu bersedia menerima tugas, mencoba terlebih dahulu, dan belajar dari pengalaman. Akhirnya, ia dipercaya menjadi kepala sekolah. Perubahan-perubahan kecil namun signifikan yang diterapkannya sangat berarti dan diakui oleh banyak orang, meskipun ada beberapa kritikan. Ia menjadikan kritikan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik. Selama empat tahun, dua sekolah yang dikelolanya mengalami peningkatan berkelanjutan dalam proses pembelajaran baik untuk siswa maupun guru.
Dengan pengetahuan yang ia peroleh sebagai tutor dan narasumber, ia menularkan ilmu tersebut kepada siswa dan guru dengan terjun langsung, bukan hanya menyuruh orang lain atau guru. Ia juga berhasil lulus ujian sebagai pengawas sekolah, namun takdir membawanya untuk bekerja di Dinas Pendidikan, mengurus 48 sekolah. Dengan semangat dan kerja kerasnya, ia berharap pendidikan terus berkembang dengan inovasi-inovasi baru, baik dalam teknologi maupun ilmu pengetahuan, meningkatkan jenjang pendidikan untuk para guru. Meskipun Ibu Yuniarti merasa sudah tua, ia percaya pentingnya terus meningkatkan ilmu melalui membaca, menulis, dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, salah satunya dengan mengikuti program-program yang dilakukan oleh SID.
“Di sini, kita dapat melihat bagaimana siswa dapat belajar secara mandiri dan menyenangkan dengan menggunakan teknologi sederhana, seperti menulis surat. Baik melalui interaksi dengan orang lain maupun dengan membuat video. Apa yang kamu pikirkan, tuliskan; apa yang kamu tulis, mari kita lakukan bersama-sama.” pungkas Bu Yuniarti. Ia percaya bahwa perubahan harus terus dilakukan. Kiprahnya belum berakhir, ia berharap apa yang diimpikannya dalam dunia pendidikan dapat didukung dan diikuti oleh banyak orang, meskipun masih ada banyak kesalahan yang perlu diperbaiki sepanjang prosesnya.
No Comments