
oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID
“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan.”
Masyarakat lokal selalu identik dengan masyarakat yang mampu bertahan dari gerusan perubahan zaman dan membentuk reseliensinya secara mandiri. Proses pembentukan reseliensi bukan tanpa alasan, melainkan untuk menjaga keseimbangan harmoni antara manusia dan alam, menjaga kelestarian keragaman alam dan kultur, serta menjadi pusat konservasi sumberdaya alam dan warisan budaya. Resiliensi tersebut juga terbentuk pada Masyarakat Baduy yang hidup di kaki Pegunungan Kendeng.
Baduy – yang berasal dari kata Badawi atau Bedouin Arab – merupakan sebutan dari penduduk luar Baduy dan sebutan tersebut dimulai dari peneliti Belanda yang berarti masyarakat nomaden. Selain itu, istilah “Baduy” juga diperkirakan diambil dari nama gunung dan sungai Baduy yang berada di daerah utara wilayah tersebut. Suku ini hidup di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak. Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang masih hidup dengan cara tradisional tanpa tersentuh modernisasi dan perubahan zaman.
Masyarakat Baduy terbagi atas Baduy Luar (Baduy Panamping) dan Baduy Dalam (Baduy Tangtu). Perbedaan keduanya ada pada norma-norma dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, wilayah tempat tinggal, hingga batas-batas interaksi dengan masyarakat luar Baduy. Baduy Luar terdiri atas 54 kampung, sudah mengenal teknologi, dan menggunakan peralatan rumah tangga yang modern. Sedangkan Baduy Dalam terdiri atas 3 kampung (Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik), belum tersentuh teknologi, hingga kehidupan sehari-harinya tidak boleh didokumentasikan. Dari perbedaan-perbedaan yang ada, masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam memahami norma-norma masing-masing kelompok dan memiliki banyak kesamaan pula, terutama pada upaya-upaya menjaga kelestarian alam di Kanekes.
Ungkapan “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan” berarti panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, menggambarkan bagaimana Masyarakat Baduy berusaha keras dalam menjaga nilai mutlak adat istiadat – meskipun perubahan zaman terus terjadi. Dalam adat istiadatnya, Masyarakat Baduy sangat menjaga kelestarian alam. Hal ini dibuktikan dengan aturan bernama pikukuh karuhun, yang berisi: 1) Dilarang masuk ke dalam hutan larangan untuk menebang pohon, membuka lading, atau mengambil hasil hutan lainnya, 2) Beberapa jenis pohon dan tanaman dilarang untuk ditebang sama sekali, seperti pohon-pohon yang menghasilkan buah dan tanaman tertentu. Hutan larangan yang sangat dijaga kelestariannya tersebut bernama Leuweung Kolot.
“Leuweung” berasal dari bahasa masyarakat setempat yang berarti “banyak pohon besar”. Leuweung Kolot atau hutan larangan merupakan bentuk resiliensi atau pertahanan Masyarakat Baduy dari gerusan modernisasi dan perubahan zaman, seperti penebangan hutan, penyerobotan tanah, dan pengambilan ikan di sungai menggunakan racun. Selain itu, Leuweung Kolot juga menjadi upaya perlindungan diri dari ancaman internal, seperti pertumbuhan pendudukan yang kian pesat, hingga menyebabkan kebutuhan akan sumber daya alam yang terus meningkat. Oleh karena itu, Leuweung Kolot ada untuk terus menjaga keharmonian hidup antara manusia dan alam pada Masyarakat Baduy.
Pada pelaksanaannya, Leuweung Kolot berisikan beranekaragam hayati dan sangat dijaga keberadaannya. Saat daerah disekitarnya boleh dinikmati hasil alamnya, serta boleh dibuka untuk kegiatan tani dan kebun, Leuweung Kolot adalah satu-satunya daerah yang tidak boleh digunakan. Hal ini tentunya sejalan dengan makna pembangunan atau pemanfaatan lingkungan berkelanjutan (environmental sustainability) yang berarti selalu mempertimbangkan keberlanjutan kondisi alam untuk dimanfaatkan oleh generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini pulalah yang menjadikan Leuweung Kolot masuk dalam daftar Kawasan Cagar Biosfer oleh UNESCO.
Masyarakat Baduy percaya bahwa kekuatan leluhur ada pada alam, oleh karena itu Masyarakat Baduy memuja leluhur dengan cara merawat alam sekitar (animisme). Dari cara Masyarakat Baduy menghargai alam, tentu dapat kita tiru dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya melestarikan lingkungan, seperti: 1) Menyadari bahwa semua aspek kehidupan manusia bergantung pada alam, sehingga merawat alam bukan pilihan, melainkan kewajiban, 2) Tidak serakah dalam memanfaatkan alam, melainkan mengedepankan pemanfaatan lingkungan berkelanjutan, serta 3) Tidak menebang pohon atau melakukan penyerobotan lahan secara sembarangan.
Sociopreneur Indonesia percaya bahwa nilai-nilai yang diaplikasikan oleh Masyarakat Baduy pada Leuweung Kolot dapat diaplikasikan pula oleh kita semua dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Sociopreneur Indonesia mengajak lebih banyak orang untuk dapat merawat lingkungan melalui kegiatan sehari-hari melalui Earthvenger dan turut menjadi Earthvenger Hero!
No Comments