oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID
Keberagaman sumber daya laut merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Negara Maritim seperti Indonesia. Negara Indonesia yang lahir dengan dua pertiga lautan dibandingkan daratan, memiliki ekosistem laut yang sangat beragam. Dari fakta tersebut, Indonesia mampu menjadi penyedia sumber pangan perikanan terbesar di dunia, penghasil 50 persen oksigen bagi organisme darat, serta penyerap karbondioksida dan sumber baku air minum. Kekayaan ekosistem laut tersebut tidak semata-mata terjadi begitu saja, melainkan hasil upaya masyarakat menjaga laut agar terus lestari.
Masyarakat Maluku, misalnya, menjaga laut dengan tradisi-tradisi kearifan lokal, salah satunya melalui Tradisi Sasi. Sasi yang secara turun-temurun diwariskan oleh masyarakat Maluku berasal dari Bahasa Wamala – yakni dari kata “sasihae” yang berarti “perkara yang terselubung” atau “sasi” yang berarti “orang meninggal”. Kata “sasi” mengalami asimilasi dan kini bermakna sebagai hukuman dipermalukan di depan umum, kerja untuk negeri, atau denda uang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mampu mematuhi kesepakatan tentang kewajiban atau larangan terhadap panen, penangkapan, pengambilan tanpa izin baik untuk kepentingan pribadi maupun komersial terhadap sumber daya alam tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sasi sendiri merupakan sebuah tradisi masyarakat adat di Maluku yang melarang masyarakat untuk mengambil hasil panen alam (darat dan laut) dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan sebagai pelestarian alam dan menjaga populasi. Pengambilan hasil laut boleh dilakukan hanya jika ritual pembukaan sasi dilakukan, agar sumber daya laut yang dilindungi punya waktu yang cukup untuk berkembang biak dengan baik agar hasil panennya lebih banyak dan ekosistem di laut tidak rusak.
Tradisi Sasi hanya akan berhenti ketika pembukaan ritual Sasi, hal ini dilakukan ketika ikan lompa (sejenis sarden) memasuki sungai untuk dipanen. Ikan lompa boleh dipanen dengan syarat air sungai harus bersih, serta tidak boleh ada masyarakat yang buang air di sungai karena ikan lompa akan ditangkap di sungai-sungai yang ada di sekitar masyarakat. Ritual pembukaan dimulai dengan Panasasi – dimana tetua adat mengelilingi kampung sambil membaca aturan buka sasi dan membakar lobe (daun kelapa kering) selama semalaman.
Pembukaan sasi yang berlaku selama satu hari memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membentangkan jaring di sepanjang muara sungai Setelah itu, seluruh masyarakat akan berkumpul dipesisir kali, mengambil hasi laut, dan hasil laut tersebut dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dalam sekali panen, masyarakat Maluku dapat memperoleh lebih dari 40 ton ikan lompa. Ikan tersebut tidak boleh dijual, melainkan menjadi penopang pangan masyarakat setempat.
Tradisi yang sudah ada sejak tahun 1600 ini mungkin terlihat sederhana, namun tradisi ini berhasil memberikan banyak sekali manfaat, baik bagi alam dan umat manusia, diantaranya; 1) Sasi berhasil menjaga keseimbangan ekosistem di alam, 2) Sasi menjadi kontribusi nyata masyarakat adat dalam merawat laut Maluku, 3) Sasi mengajarkan kepada masyarakat Maluku untuk tidak tamak dan serakah dalam memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Manfaat-manfaat tersebut tentunya dirasakan dan membuat Tradisi Sasi diakui oleh banyak pihak, diantaranya Sasi masuk ke dalam Warisan Budaya Tak Benda UNESCO Tahun 2003. Sasi juga menjadi konstruksi sosial sustainability yang diberdayakan oleh Organisasi Masyarakat Sipil – terutama pada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022, serta menjadi tulang punggung Ekonomi Biru di Indonesia.
Ekonomi Biru yang sejatinya merupakan pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan dapat membantu pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, sekaligus pelestarian ekonomi laut. Sasi yang mampu menopang pangan masyarakat Maluku dalam jangka waktu yang sangat panjang dapat menjadi ketahanan pangan secara tradisional bagi Masyarakat Maluku.
Sasi yang turun-temurun dilakukan oleh masyarakat pesisir di Maluku, tentu nilai-nilai tradisinya dapat kita maknai dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak membuang sampah ke sungai, tidak serakah dalam memanfaatkan ketersediaan alam di sekitar kita, dan juga menyadari bahwa kondisi alam adalah cerminan diri kita dalam memperlakukan alam.
Tradisi Sasi pada dasarnya memang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Maluku, namun nilai-nilai menjaga kelestarian alam didalamnya adalah hal yang bisa ditiru oleh siapapun dan dimana pun. Oleh karena itu, Sociopreneur Indonesia percaya bahwa nilai-nilai pada Tradisi Sasi dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari serta membawa lebih banyak orang menjadi Earthvenger Hero!
No Comments