UN International Youth Day 2021: Cerita dari Food Sustainesia

Kembali ketika masih duduk di bangku perkuliahan, kampus saya memiliki sebuah program studi yang bernama Nutrition and Food Technology (NFT). Teknologi pangan, begitu dikenal oleh kampus lainnya di Indonesia. Saya masih ingat, ada banyak sekali yang inovasi yang lahir dari prodi tersebut – sebagai tugas mahasiswa pula! Mahasiswa menciptakan produk-produk inovasi makanan yang sehat dan kemudian diedarkan di seputar kampus kepada mahasiswa lainnya untuk dites/disurvei. Bahagianya kami, dapat makanan gratis, unik, dan enak-enak…

Salah satu acara tahunan yang dilaksanakan oleh program studi tersebut adalah Sustainable Food Festival (SFF) yang mengangkat tema seputar keberlangsungan pangan, nutrisi dan gizi makanan yang dikonsumsi sehari-hari, dan topik-topik pangan lainnya. Ketika kami lulus dari kampus, acara ini kemudian menjadi inspirasi lahirnya sebuah komunitas yang digagas oleh teman saya, Klaudia, bersama teman-teman jurusan NFT lainnya. Komunitas ini diberi nama Food Sustainesia. Asumsi saya terdapat tiga kata kunci di sini: Food (makanan), Sustainable (keberlanjutan), dan Indonesia (wilayah cakupan). Sekilas kita seperti sudah mendapatkan gambaran tentang apa yang ingin disasar oleh Foodsustainesia. Namun, pekan ini saya berkesempatan untuk berbincang-bincang hangat dengan Klaudia dalam rangka UN International Youth Day yang mengangkat tema Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health.

Klaudia, yang bernama lengkap Klaudia Roseline, saat ini berperan sebagai Co-Founder dan Chief Marketing Officer (CMO) dari Food Sustainesia. Komunitas ini berawal dari inisiatif masing-masing anggota tim dalam isu food sustainability. Mereka semua satu kampus, sebagian besar satu jurusan – Klaudia, Jaqualine, Dinda, Grace, Milka, dan Devon.

“Jadi pertama kali kenal yang namanya food sustainability system itu gara-gara ketemu sama komunitas-komunitas lainnya, sharing antara komunitas-komunitas besar yang sudah lebih dahulu membahas mengenai pangan dan sistem pangan termasuk food waste dan lainnya.” Jelas perempuan berambut lurus sebahu itu.

“Kalau secara pribadi, sebenarnya sih awal mulanya kenal-kenal gitu aja ya, setelah dipahami makin ke sini, aku ngeliat di sebagian daerah, kok banyak, ya, orang-orang sekarang itu yang buang-buang makanan. Tapi, di sisi lain banyak juga orang yang susah makan! Bayangin kalau misalnya makanan yang terbuang percuma ini bisa dialokasiin untuk orang-orang yang ga bisa makan, tentu akan lebih baik lagi keseimbangannya.” Tambahnya.

Klaudia sendiri pernah melihatnya fenomena ketimpangan sumber makanan yang terjadi secara langsung di depan matanya. Saat itu, ia tengah berada di daerah dekat dengan Gunung Bromo. Di sana, ia melihat banyak hasil-hasil panen seperti kentang, kol, wortel, tomat, yang hanya diletakkan di depan rumah warga dalam karung-karung bak tumpukan sampah.

“…dan di sana orang-orang pada bilang makanan itu nggak laku, gara-gara over panen dan dijual dengan harga sangat murah. Sekiloannya cuma seribu rupiah tapi nggak ada yang mau beli saking banyaknya dan demandnya nggak ada. Dari sini aku ngeliat ketimpangan banget. Daerah belahan lain banyak yang warganya nggak bisa makan. Sedangkan di sini, makanan berlimpah sampai dibuang-buang dan seolah nggak ada harganya.” Ceritanya.

“Andaikan makanan-makanan itu bisa disalurkan dengan baik, otomatis nggak ada lagi kelaparan…” Inilah yang kemudian menjadi salah satu urgensi berdirinya Food Sustainesia.

Di Food Sustainesia, Klaudia dan teman-teman berokus untuk mengkampanyekan dan melakukan empowerment kepada publik, khususnya anak-anak muda untuk lebih paham tentang isu keberlanjutan pangan dan dapat menyalurkan niat baiknya untuk mengambil aksi.

“Kita encourage anak muda untuk take small step untuk bisa membantu mewujudkan keberlanjutan pangan .”

Anak-anak muda memiliki peran penting di sini. Menurut Klaudia, sebagai Agent of Change, anak-anak muda sudah memiliki kapabilitas yang luar biasa ditambah lagi dengan dekatnya generasi ini kepada media digital dan internet. Tentunya dapat menjangkau lebih banyak orang lagi. Misalnya saja, Food Sustainesia pernah cukup sukses menjalankan sejumlah kampanye digital yang mengedukasi pentingnya keberlangsungan pangan seperti kampanye Piring Kosong dengan ajakan sederhana: “habiskan makananmu!” Ada juga kampanye tentang Ugly Food, kemudian kampanye EatThink dengan slogan “Think Before You Eat.” Kampanye lainnya mengajak anak-anak muda dan masyarakat untuk mulai mengembangkan kebiasaan positif baru yang berkaitan dengan makanan.

“Intinya encourage mereka untuk ngelakuin hal-hal baru yang positif walau pun itu kecil, but it matters. Kami juga memiliki aktivitas edukasi untuk anak-anak muda lewat program-program yang ringan, misalnya ada program NongOl (Nongkrong Online). Kita undang beberapa aktivis, atau millennials yang mereka udah punya kebiasaan sehari-hari yang bisa menginspirasi penonton. Topik lain yang kita angkat misalnya diskusi tentang mengkompos, kesehatan mental, dan giizi, jadi memang macam-macam.” Ujar Klaudia sambil tertawa.

Melalui kegiatan yang dijalankan Food Sustainesia selama kurang lebih dua tahun ini, mereka temukan ternyata banyak anak-anak muda yang tertarik dengan isu keberlanjutan pangan. Sayangnya, semangat ini masih terkendala pada konsistensi. Ada dua hal utama yang ditemui oleh Food Sustainesia: pertama, lemahnya support system. Belum banyak orang-orang di sekitar mereka yang peduli akan hal ini, sehingga ketika mereka mencoba untuk menjadikannya rutin, mereka sadar, ada banyak yang harus mereka “sadarkan” juga. Yang kedua adalah resources, mereka belum memiliki sumber daya untuk mendukung kebiasaan baru ini. Baik dari segi material, maupun pengetahuan dasar yang cukup. Tentunya, Food Sustainesia melihat temuan ini sebagai peluang bagi mereka untuk mengembangkan lagi program edukasi di masa depan.

“Kita sekarang lebih mau fokus lagi ke tiga topik. Pertama, nutrition and health, jadi benar-benar lebih ke kesehatan dan gizi, yang kedua itu adalah tentang food waste, yang ketiga itu adalah tentang sustainable agriculture. Tujuan jangka panjangnya adalah kita ingin membawa orang-orang untuk jauh lebih mindful terhadap apa yang mereka konsumsi.” Tukasnya.

Perjalanan yang masih panjang menanti di depan! Begitu juga dengan yang kami lakukan di SociopreneurID. Kami sama-sama berfokus untuk membangun ekosistem yang sadar akan peran masing-masing dengan mengambil aksi sederhana, yang sesuai dengan kemampuan. Terpenting adalah konsisten untuk dilakukan.

Perbincangan kami malam itu saya tutup dengan bertanya pada Klaudia tentang peran anak muda dalam isu transformasi sistem pangan ke depannya.

“Sebenarnya yang ingin sekali Food Sustainesia sampaikan untuk anak-anak muda di Indonesia adalah generasi muda itu generasi yang pintar-pintar. Kami sudah bertemu banyak anak muda dengan prinsip dan pemikirannya masing-masing atas isu ini, dan seluruh pemikirannya sudah maju. Tentunya, kami ingin anak-anak muda sudah mulai menjadi konsumen yang cerdas. Artinya, tidak hanya berpikir hanya sebatas apa yang ada di depan mata saja. Makanan yang kita makan itu punya perjalanan yang jauh banget sampai bisa ada di depan mata kita. Food is just not about food gitu. Intinya sih, be mindful, think before you eat, be wise buat diri sendiri dan buat lingkungan.”

Kami percaya dengan closing statement Klaudia bahwa hidup ini sejatinya adalah siklus. Apa pun yang kita lakukan hari ini akan berdampak di masa depan. Lagipula, jika bukan generasi muda yang bergerak sekarang, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Spread the Kindness