test

test

Spread the Kindness

Selama berjalan kurang lebih tiga bulan terakhir, kami mengenal dan berinteraksi dengan teman-teman baru. Mereka adalah teman-teman kami yang menjadi relawan muda (Youth Volunteer) di Empathy Project Virtual 2021, batch 1. Mereka adalah teman-teman yang walau hanya bisa kami lihat lewat layer gawai dan komputer, yang hanya bisa kami jangkau lewat aplikasi chat, namun seperti sudah kami kenal dengan baik dan seakan sudah pernah bertemu sebelumnya.

Ketika di awal kami memindahkan aktivitas kerelawanan menjadi daring, sempat terbersit sedikit keraguan akan komitmen. Namun, tahun lalu, kami dibuat terkesima dengan 51+ video edukasi yang dihasilkan oleh teman-teman relawan yang memproduksi seluruhnya dari tempat masing-masing. Dari Sabang sampai Merauke, bahkan ada yang dari Malaysia, Spanyol, Turki, dan beberapa negara lainnya.

Tentu saja pengalaman ini menumbuhkan rasa optimis untuk kembali bisa menemui hal yang sama pada batch ini. Di program Expert and Youth Volunteering 2021 batch 1 ini, 88 relawan profesional dan relawan muda yang datang dari seluruh Indonesia. Walau jumlahnya tak sebanyak pelaksanaan tahun sebelumnya, sebagai PIC masing-masing kelompok, kami tetap menyaksikan keceriaan dan usaha yang luar biasa dari teman-teman relawan. Kami terkagum-kagum dengan upaya masing-masing tim untuk tetap bisa bertukar pikiran, tetap belajar satu sama lain, menjaga interaksi dan kerukunan grup, bahkan beberapa ada yang suka melontarkan lelucon-lelucon lucu agar suasana grup tetap hidup.

Kami memiliki grup besar, di mana seluruh relawan bergabung dan grup tersebut menjadi portal informasi dan tempat bertukar karya masing-masing kelompok. Ada juga grup-grup kecil yang dibentuk oleh masing-masing kelompok untuk berkoordinasi membuat video edukasi. Biasanya, para PIC dari SociopreneurID bergabung ke dalam grup-grup kelompok untuk memantau dan memberikan arahan kepada teman-teman relawan sepanjang prosesnya.

Salah satu dari teman-teman relawan yang sering muncul untuk mempromosikan karya timnya yang sudah tayang di media sosial adalah Dewi. Dalam kelompoknya, ia berlaku sebagai social media campaigner dengan akun Instagram kelompoknya yang bernama @self_talk.id. Kami sempat berbincang dengan Dewi untuk menggali lebih dalam aktivitas dan perubahan yang ia alami selama mengikuti kegiatan kerelawanan ini.

Dewi yang gemar menyelipkan tawa di sela-sela pembicaraan, menceritakan tentang keterbukaan ruang belajar yang ia rasakan. “Di program ini aku seakan dikasih ruang belajar yang bener-bener untuk belajar gitu. Jadi, kami langsung terjun (mencoba hal-hal baru). Nah, kalau misalkan ngomongin prosesnya, pasti sih kayak nemuin kendala, karena Dewi banyak nyoba hal-hal baru di sini. Kalau mau ngomongin perubahan, jelas banget sih, ada perubahannya di diri Dewi. Sebelumnya misalkan belum pernah dan nggak kepikiran untuk bikin (misalnya) content planning, di sini harus belajar dan bisa nggak bisa harus coba bikin content planning. Ini yang maksud Dewi belajarnya tuh belajar beneran gitu.. Bukan hanya terima satu atau dua tugas terus dikerjain dan dilaporin ke ketua aja.”

“Setiap orang di tim itu bener-bener berperan di sini. Dalam satu kelompok aja, walau perannya beda-beda tapi sama-sama saling bantu. Terutama kalau udah bicarain diseminasi, gimana sih caranya biar naikin awareness orang tentang apa yang kita lakukan, gimana caranya biar orang-orang mau nih ngeliat konten kita gitu. Ya, hal ini dipikirkan oleh seluruh tim, dan terasa banget peran masing-masing dari kami.” Sambungnya.

Proses paling berkesan bagi Dewi selama pelaksanaannya adalah betapa bebasnya ruang gerak masing-masing relawan untuk berkembang dalam timnya. Seakan berjalan sambil membuat jalan, teman-teman relawan belajar sambil praktik, sambil mengonfirmasi apa yang mereka ketahui satu sama lain, dan teman-teman relawan berbagi apa yang mereka pahami sesuai dengan latar belakang dan keahlian masing-masing. Tidak ada salah dan benar dalam prosesnya, menurut Dewi, setidaknya berbekal timeline pengerjaan yang telah dibuat oleh tim, mereka mampu memenuhi target yang sudah dicapai, walau hanya dengan diskusi informal saja.

“Kalau ngomongin tim, Alhamdulillah nya itu dapet tim yang emang bisa nerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Di tim Dewi, setiap orang saling mengisi, misalnya waktu itu si A nggak bisa ngerjain X nih, terus anggota tim yang lain sharing gitu biar sama-sama belajar. Kami percaya masing-masing dari kita punya kekukrangan, itulah yang membuat kita nggak terlalu berpangku dan fokus sama peran masing-masing aja, dalam kerja sama tim pasti nggak ada yang bakal ideal hanya mengerjakan tugas dan menjalankan peran pribadinya aja, tapi bisa back up dan mengisi kekurangan teman yang lainnya juga. Kalau di tim aku, meeting formal nya sesekali, banyakan ngobrol jalan di grup, tapi kerjaan juga beres gitu…”

Pengalaman Dewi ini dapat dijelaskan secara saintifik melalui sebuah studi. Di tahun 2013, Prof. Dr. Josette Dijkhuizen mengkaji tentang Entrepreneurial Genes. Dalam kajiannya, ia menemukan bahwa setiap orang bisa menjadi seorang entrepreneur dan memiliki entrepreneurial mindset dengan menumbuhkan 12 Entrepreneurial Genes. Kata “gen” dalam hal ini tentu saja tidak berarti literal, namun traits atau karakteristik yang dapat ditumbuhkan oleh setiap individu. Dalam salah satu komponennya, terdapat Flexibility, yang menggambarkan kondisi yang Dewi dan tim hadapi. Seorang entrepreneur membutuhkan ruang fleksibilitas yang membantunya memaksimalkan pekerjaannya. Flexibility dijelaskan oleh Robles (2012) sebagai kemampuan beradaptasi, keterbukaan akan hal baru yang berujung pada lifelong learning.

“Jadi di program ini, Dewi merasa lebih fleksibel, santai, tapi dapat ilmunya dan merasakan adanya perubahan positif di diri Dewi. Banyak lagi ilmu-ilmu yang emang langsung kepakai ketika ikutan YV ini. Dan sebelumnya nggak ngebayangin bakal kayak gini sih, maksudnya bakal ada di posisi yang emang ngerjain banyak hal tapi enjoy gitu. Sebenarnya di awal masuk deg-degan banget, soalnya belum pernah jadi social media campaigner. Tapi, yaudahlah dicoba aja, bukannya pura-pura tau, aku cuma membatin yaudahlah biarin aja, berjalan sambil belajar, sambil nyari-nyari info gitu. Tapi pas udah ngerasain di kelompok kayak gini, tantangannya ketidak mampuan kita harus dikeluarkan untuk menjadi mampu gitu. Makanya jadi banyak belajar… Dan nggak hanya belajar memahami tim, tapi belajar memahami orang lain di lingkungan program juga, lucunya, walau kita bahkan nggak pernah ketemu sama sekali di dunia nyata, ya, Kak. Ini akan jadi bekal banget buat di volunteering selanjutnya atau di kegiatan lainnya di luar sana. Pokoknya seneng banget karena bisa keluar dari zona nyaman.” Tutup Dewi.

Jika dikaitkan kembali pada studi Entrepreneurial Genes, kita dapat mengidentifikasi gen-gen lain dalam cerita Dewi. Proses Dewi belajar bersama timnya juga mencakup Courage (keberanian), bahwa Dewi dan teman-temannya saling “mendorong” untuk menghadapi tantangan yang dihadapi, keluar dari zona nyaman, kemudian ada Leadership (kepemimpinan) yang dimiliki oleh setiap anggota tim yang memiliki peran dan cepat tanggap dalam menyikapi tantangan yang dihadapi bersama. Creativity (kreativitas) yang mereka kerahkan untuk dapat menyelesaikan tantangan dan kemampuan mereka untuk melalui setiap prosesnya dengan rasa senang, serta Self-reflection, yang dilakukan Dewi melalui ceritanya dengan merefleksikan apa yang sudah ia hadapi, pelajari, dan dapat ditingkatkan lagi ke depannya.

Memeringati World Humanitarian Day 2021, United Nations (UN) menyoroti isu perubahan iklim. Lebih lanjutnya, World Humanitarian Day tahun ini membahas lebih lanjut dampak dari perubahan iklim dan dampaknya terhadap orang-orang yang rentan di seluruh belahan dunia. Perubahan iklim sendiri menjadi salah satu bahasan dan fokus UN dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Di tahun 2019, kami mengadakan pilot project untuk sebuah kampanye digital yang mengajak keterlibatan publik untuk membangun kebiasaan positif bagi lingkungan sekitar. Kampanye tersebut kami beri nama Earthvenger. Berangkat dari tren film Avengers yang ramai menjadi perbincangan.

Tak berbeda dengan Avengers, Earthvenger juga berbicara tentang aksi heroik dari para pahlawan penyelamat bumi yang memiliki kapabilitas yang berbeda-beda. Ada yang menyelamatkan bumi dari sampah makanan, ada yang membantu mengurangi pemakaian plastic, ada yang mulai mengolah sampah rumah tangganya sendiri, menjaga kebersihan pantai, hingga upaya sederhana seperti menghemat listrik dan membawa botol minum sendiri. Yang kami percayai, setiap orang, apa pun latar belakangnya, bisa menjadi bagian dari Earthvenger.

Satu hal yang kami pelajari dari eksekusi kampanye Earthvenger: stimulus ini tidak bisa hanya dilakukan satu kali. Agar dapat menjadikannya bagian dari rutinitas, konsisten menjadi kata kunci utama, sesederhana apapun aksinya. Begitu seseorang menjalankan aksinya secara konsisten, maka kesadaran lingkungannya (environmental consciousness) sudah terbangun.

Pada kesempatan lalu, kami mengangkat cerita dari Biyung Indonesia yang mengampanyekan penggunaan pembalut kain serta mengedukasi perempuan-perempuan dari lingkungan yang rentan akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Tidak hanya kampanye, Biyung juga memberikan edukasi terhadap perempuan-perempuan daerah tentang urgensi dari pengurangan pembalut sekali pakai. Hanya dengan mengubah keputusan dari pembalut sekali pakai ke pembalut kain saja, resiko penumpukan sampah pembalut sudah dapat diantisipasi. Bayangkan jika seluruh pihak dapat melakukan hal yang sama di sektor-sektor lainnya.

Tantangannya saat ini adalah ketika kesadaran sudah terbentuk, apakah setiap orang sudah mampu secara konsisten menjalankannya? Terlepas dari apa pun sektornya, kami percaya bahwa konsistensi bukanlah sesuatu yang sulit. Studi menunjukkan bahwa tidak butuh waktu yang lama untuk membangun kebiasaan baru, cukup biasakan diri untuk melakukan hal yang sama selama tiga sampa tujuh hari. Setelah itu, hal tersebut akan menjelma menjadi kebiasaan baru. Tambahkan hal-hal baru setiap minggunya agar semakin banyak hal positif yang dapat dijadikan kebiasaan rutin untuk dijalankan setiap harinya.

Jadi, siapa bilang menjadi konsisten itu sulit? Yuk, bisa, yuk!

Di dalam ilmu entrepreneurship, dikenal sebuah istilah yang bernama “effectuation.” Prinsip dari effectuation berawal dari Bird in Hand atau fokus terhadap apa dimiliki dan apa yang dapat dilakukan. Prinsip berikutnya adalah Affordable Loss yaitu perhitungan risiko yang akan diambil sesuai dengan sumber daya yang dimiliki (bird in hand). Jika nanti dalam prosesnya terjadi hal-hal diluar dari perkiraan atau perencanaan, maka berlakulah prinsip ketiga yaitu Lemonade yang berarti mampu mengubah hal-hal yang tidak diinginkan menjadi peluang (opportunity).

Tentunya agar dapat mengimplementasikannya, seorang Entrepreneur sadar bahwa ia tidak mampu bergerak sendiri. Perjalanannya akan dipenuhi oleh kejutan-kejutan dan risiko. Maka dari itu, seorang Entrepreneur akan mempertimbangkan prinsip keempat yaitu Crazy Quilt yang berarti membangun kerja sama untuk memperkecil risiko dan agar terjadi shared risk. Meskipun demikian, apapun yang terjadi, keputusan tetap di tangan seorang Entrepreneur untuk membawa arah ke mana ia akan menuju. Inilah yang dikenal dengan prinsip terakhir yaitu Pilot-in-the-Plane.

Ketika seseorang mampu memiliki prinsip dan berpikir secara effectual, maka ia telah menerapkan cara berpikir entrepreneurial. Namun, kata entrepreneurial sendiri masih sering dikaitkan dengan seseorang yang membangun usaha atau inisiatif saja. Padahal yang kami yakini, setiap orang harus mampu memiliki cara berpikir entrepreneurial agar menjadi independen dan kritis dalam mengambil langkah dalam hidup masing-masing.

Contoh sederhananya, pada generasi muda saat ini yang gampang goyah atau bahasa kerennya insecure ketika tren “Usia 25 sudah punya apa saja?” muncul beberapa waktu lalu. Ramai sekali perbincangan di media sosial tentang topik ini, mulai dari membahas keterbatasan finansial sebagai fresh graduate, tips menyicil rumah sejak dini, ajakan memulai usaha, ada yang unjuk penghasilan dan gaya hidupnya, hingga ketimpangan yang terjadi akibat pengurangan tenaga kerja pada perusahaan yang terdampak Covid-19. Ketika pembicaraan yang ramai hanya fokus pada tantangan yang dihadapi, sedikit sekali yang membahas apa yang dapat dilakukan dengan sumber daya yang dimiliki masing-masing saat ini.

Kasus ini memberikan insight kepada kita semua bahwa begitu gampangnya seseorang terpengaruh dengan standar yang diterapkan oleh orang lain. Kebanyakan dari kita malah membanding-bandingkan pencapaian diri kita dengan orang lain. Ketimbang mengontrol apa yang bisa kita kontrol, kita berfokus menghitung-hitung sesuatu yang tidak kita miliki. Alhasil, kita terbelenggu dalam pikiran kita sendiri.  

Ketika Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus ini, kita juga kembali merefleksikan makna kata merdeka, setidaknya untuk diri kita sendiri. Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Masihkah kita menerapkan standar orang lain untuk pencapaian diri kita sendiri?

Salah satu cara yang dapat menjawabnya adalah mendalami kembali prinsip dari effectuation. Dalam penerapannya, effectuation berfokus kepada aksi. Saat ini, aksi yang dapat generasi muda lakukan adalah keluar dari belenggu pikiran yang menempatkan diri pada standar orang lain. Karena sesungguhnya kemerdekaan yang paling mahal harganya adalah kemerdekaan berpikir, kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan hidup kita masing-masing.

Bagi sebagian besar jejaring dan mitra kami, nama Yolanda tentu sudah tidak asing lagi terdengar. Kiprahnya bersama kami sudah dimulai sejak awal Sociopreneur Indonesia berdiri. Sebagai salah satu orang yang lama berada di SociopreneurID, Yolanda lah yang awalnya membesarkan program-program edukasi untuk anak dan program kerelawanan di SociopreneurID. Kini perjuangan Yolanda telah selesai. Selamat jalan, sahabat. Beristirahatlah dengan tenang, biar kami yang melanjutkan semangat dan dedikasimu.

Tim operasional SociopreneurID memang tidak pernah lebih dari tujuh orang. Kami pun sudah saling mengenal satu sama lain sejak bangku kuliah. Bagi Anda yang belum mengetahui sejarah singkat SociopreneurID, kami sebenarnya sudah saling mengenal sejak tahun 2013 melalui sebuah klub mahasiswa di kampus. Klub ini kemudian dikembangkan menjadi social enterprise yang secara legal berdiri pada tahun 2018.

Saat itu, rata-rata dari kami telah menyelesaikan studi memutuskan untuk bergabung bersama SociopreneurID. Perjalanan kami pun dimulai, berkiprah bersama membesarkan perusahaan ini. Selama tiga tahun ini ada banyak cerita dan tantangan yang kami lalui. Baik itu di kantor, di lapangan, bersama anak-anak, bersama relawan, bersama mitra, setiap momen punya cerita dan kenangan. Terlebih lagi bersama Yolanda, sebagai salah seorang yang paling lama berada di SociopreneurID, banyak sekali hal yang kami pelajari dari Yolanda semasa hidupnya.

Di tahun awal, Yolanda masih sama seperti pribadi yang kami kenal di kampus: tidak banyak berbicara dan pemalu. Memasuki tahun kedua bekerja, kami mulai melihat sisi lain Yolanda yang ternyata sungguh riang. Salah satu hal yang paling kami ingat dan sukai adalah ketika ia tertawa. Sungguh, tawanya menular dan mampu membuat orang lain ikut tertawa juga, meski pun kami tidak tahu apa yang ia tertawakan.

Ketika bekerja, ia mampu mengemban tanggung jawab dengan baik. Ia cakap dalam hal administrasi dan mengurus perintilan-perintilan yang sekilas mustahil untuk dapat diingat. Namun, Yolanda bisa mengerjakannya. Ketika kami hendak turun ke daerah-daerah, seluruh urusan perlengkapan dan perintilan yang harus dibawa sudah ditangani oleh Yolanda. Ia begitu jeli memerhatikan kebutuhan kami. Di dalam perjalanan, Yolanda sudah seperti orang tua kami. Kalau kelaparan, Yolanda dengan sigap mengeluarkan kantong atau tas berisi makanan ringan yang dapat kami makan bersama. Kalau kami penat, Yolanda mengeluarkan kartu atau permainan sederhana lainnya yang dapat dimainkan bersama.

Ia juga kami kenal sebagai pecinta hewan. Terkadang ia bisa tertawa terbahak-bahak ketika menonton video-video hewan yang ia temukan di media sosialnya. Ia juga gemar membawa makanan kucing ke mana pun ia pergi untuk memberi makan kucing-kucing liar yang ia temui di jalan.

Di kantor, sosok Yolanda terkenal patuh dan cukup kaku dalam mengurus pekerjaannya. Kaku dalam artian begitu prosedural dan mendetil. Namun, ada kalanya juga Yolanda “melonggarkan” fase bekerjanya. Ketika ia melakukannya, pasti ada cerita lucu yang terjadi setelahnya. Misal, saat kami melaksanakan Empathy Project perdana di Desa Sembulang, Batam. Yolanda saat itu kebagian mengurus acara Three-S Dialogue di Batam. Perjalanan dari Desa Sembulang ke Batam kala itu hanya bisa ditempuh menggunakan bus, karena kami tidak menyewa kendaraan pribadi. Bus ada di jam-jam tertentu saja, jika terlambat harus menunggu lagi di jadwal berikutnya. Yolanda saat itu rela ditinggal bus demi mencicipi kepiting untuk makan siang kami yang dimasak oleh Ibu Silvi, “ibu angkat” kami selama di Desa Sembulang.

Tentu saja, hal ini memberikan pandangan baru kepada kami tentang Yolanda, ternyata dalam bekerja ia tidak se-kaku yang kami bayangkan. Keputusan Yolanda saat itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal, hingga kami lupa hawa panas khas daerah tepi pantai dari Desa Sembulang.

Ada banyak malam tanpa tidur yang kami lalui bersama. Teringat masa-masa menyiapkan Empathy Project Tangerang Selatan 2019, di saat kami hanya tidur di ruang panitia beralaskan terpal dan berbantalkan bungkusan baju-baju panitia dan relawan. Di Empathy Project Karangpandan 2019, kami harus bergantian mengepel lantai ruangan yang bocor kemasukan hujan ketika peserta BYTe sedang mendengarkan materi. Belum lagi bergantian menghidupkan pompa air yang letaknya di sudut rumah yang gelap agar peserta BYTe dapat mandi keesokan paginya. Di Empathy Project Boyolali 2019, kami dan beberapa relawan menginap di sebuah rumah yang menyimpan tumpukan tembakau, sehingga baunya menempel untuk beberapa hari di setiap baju yang kami bawa ke Boyolali.

Seluruh kenangan dan momen ini kami lalui bersama Yolanda. Masih banyak cerita-cerita yang kami lalui bersama. Selama bersama Yolanda, kami melihat semangat dan dedikasinya dalam bekerja. Terlebih ketika seluruh program harus kami pindahkan secara virtual. Yolanda yang saat itu menjadi PIC dari program Expert dan Youth Volunteering 2020 harus berhadapan dengan teman-teman relawan muda dan profesional secara virtual. Ternyata, energi dan ekspresinya begitu kuat terpancar, membuat teman-teman relawan mengenangnya sebagai pribadi yang ceria dan penuh tanggung jawab. Yolanda menjadi kakak fasilitator dan PIC yang murah senyum, suka tertawa, dan perhatian kepada tim relawannya. Inilah kenangan terakhir kami menjalankan Empathy Project bersama-sama dengan Yolanda.

Yolanda berpulang saat Empathy Project Virtual 2021 tengah berlangsung. Di saat kami menggaungkan tentang wellness, kali ini justru wellness kami yang sedang diuji. Memang masih terasa tidak nyata, namun kami percaya inilah yang terbaik untuk Yolanda. Ia telah berjuang melawan sakitnya sampai akhir hayatnya.

Tidak mudah bagi kami untuk merangkai tulisan ini tanpa mengenang dan mengingat-ingat kembali apa yang telah kami lalui bersama Yolanda, namun, kami ingin menyebarkan semangat dan perjuangan Yolanda semasa hidupnya. Mudah-mudahan apa yang diperjuangkannya selama ini melalui SociopreneurID telah menyentuh hati dan menginspirasi banyak orang ke arah yang positif.

Teruntuk Yolanda, tulisan ini untukmu, Yo… Selamat beristirahat, sampai kita bertemu lagi.

Suatu hari, saya pergi ke sebuah supermarket yang ada di dekat komplek perumahan saya. Dalam perjalanan menuju pintu, saya melihat seorang anak laki-laki, mungkin masih berusia lima atau enam tahun, hendak berjalan keluar dari supermarket. Layaknya orang dewasa, anak laki-laki tersebut langsung menyambar pintu dan membukakannya untuk saya, dan seorang bapak tua yang berjalan di belakang saya.

“Terima kasih, dek…” ujar saya kepadanya tersenyum.

“Sama-sama…” balasnya.

Saya dan bapak tua saling menatap dan tertawa. Di lingkungan saya, yang sudah bercampur dengan pendatang berpola hidup urban, cukup jarang saya temui kebaikan-kebaikan sederhana seperti ini. Apalagi yang datangnya dari anak kecil. Mengingat mungkin tingginya angka kriminalitas di kota, kebanyakan anak-anak takut berinteraksi dengan orang baru. Rata-rata karena orang tua mereka mengajarkannya. Tentunya hal ini tidak bisa disangkal, namun, anak yang waktu itu saya temui sepertinya sudah cukup bisa menjaga batasan dengan orang baru. Ia tetap berbuat baik selayaknya memang itu yang harus ia lakukan saat itu.

Mirisnya, jika Anda membaca tulisan ini dari daerah yang masih komunal, tentunya Anda akan tertawa. Sebab, inilah yang cukup umum terjadi di perkotaan. Kebaikan sederhana seolah menjadi “barang” langka untuk dijumpai. Meski pun demikian, kami menemukan ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang sebenarnya memiliki niat untuk menyalurkan kebaikan mereka, hanya saja terkadang mereka butuh stimulus lebih banyak yang mendorong aksi mereka untuk menjadi konsisten.

Begitulah yang kami tangkap dari satu tahun belakangan ini berinteraksi dengan teman-teman relawan muda berusia 18 – 30 tahun di Indonesia. Melalui program tahunannya, SociopreneurID menyelenggarakan Empathy Project Virtual dengan mengumpulkan partisipasi baik dari relawan muda, relawan profesional, keterlibatan institusi pendidikan, bisnis, pemerintahan, dan organisasi masyarakat. Tahun ini, mengangkat tema The Story of Wellness, kami merangkul beragam keterlibatan dari berbagai pihak yang tetap berinisiatif dan mengambil langkah demi menciptakan harmonisasi dan berkontribusi untuk menyediakan solusi atas tantangan yang ada di sekitar kita.

Salah satu yang kami kembangkan dalam Empathy Project Virtual tahun ini adalah kolaborasi internasional. Juli lalu, kami telah menggandeng India dan Malaysia untuk melakukan hal yang sama sesuai dengan konteks yang ada di masing-masing negara. Pekan ini, kami berbagi cerita yang datang dari teman-teman kami di India, yang selama satu minggu menjalankan Kindness Challenge. Momen ini juga bertepatan dengan perayaan kemerdekaan India yang ke-75 tahun pada 15 Agustus 2021.

SociopreneurID bekerja sama dengan Yuvsatta Youth for Peace, sebuah komunitas yang bergerak secara massive untuk mengedarkan aksi-aksi kebaikan dan pesan-pesan perdamaian. Melalui Kindness Challenge, Pramod Sharma yang mewakili Yuvsatta Youth for Peace menggandeng keterlibatan tiga sekolah unggulan di India melalui: Monica Chawla dari St. Joseph Senior Secondary School, Chandigarh; Nidhi dari Carmel Convent School, Chandigarh; dan Seema Girdhar Government Model Senior Secondary School, Dhanas.

Sekolah tersebut mengerahkan guru-guru dan siswa/i untuk menjalankan aksi-aksi kebaikan sederhana terhitung dari tanggal 7 – 15 Agustus 2021. Keberagaman kebaikan yang telah disebarkan dilakukan oleh anak-anak muda melalui bantuan dari guru-gurunya. Kegiatan yang dilaksanakan beragam, mulai dari berbagi makanan untuk warga yang membutuhkan, distribusi masker kepada warga yang tidak memiliki akses, membagikan sapling tanaman dalam upaya penghijauan lingkungan, membuat pesan-pesan positif sederhana kepada sekitar dan membuat Wall of Kindness, masih banyak lagi hal lainnya.

Gerakan ini tidak menunggu pihak lain untuk turun tangan, ketiga sekolah ini langsung mengambil aksi sederhana yang mengupayakan dampak positif bagi siapa pun yang ada di sekitar mereka.

“The strength of kindness is infinite. An act of kindness actually means a selfless act. A random act of kindness can change the world…” Ujar Seema Girdhar.

Gerakan yang dilakukan oleh siswa/i di India memberikan saya insight baru tentang kebaikan. Barangkali ini juga diyakini oleh anak laki-laki yang saya jumpai di supermarket tersebut. Bahwa pada dasarnya setiap kebaikan yang kita lakukan, di mana pun kita, akan berdampak pada banyak orang. Setiap orang pun bisa menjadikannya kebiasaan jika mereka memilih untuk melakukan kebaikan secara sadar. Dan yang saya Yakini secara personal adalah kebaikan merupakan bahasa universal manusia. Siapa pun dan di mana pun Anda berada, Anda terlahir sebagai orang baik.

Maka dari itu, sudahkah Anda melakukan hal positif hari ini?

Kembali ketika masih duduk di bangku perkuliahan, kampus saya memiliki sebuah program studi yang bernama Nutrition and Food Technology (NFT). Teknologi pangan, begitu dikenal oleh kampus lainnya di Indonesia. Saya masih ingat, ada banyak sekali yang inovasi yang lahir dari prodi tersebut – sebagai tugas mahasiswa pula! Mahasiswa menciptakan produk-produk inovasi makanan yang sehat dan kemudian diedarkan di seputar kampus kepada mahasiswa lainnya untuk dites/disurvei. Bahagianya kami, dapat makanan gratis, unik, dan enak-enak…

Salah satu acara tahunan yang dilaksanakan oleh program studi tersebut adalah Sustainable Food Festival (SFF) yang mengangkat tema seputar keberlangsungan pangan, nutrisi dan gizi makanan yang dikonsumsi sehari-hari, dan topik-topik pangan lainnya. Ketika kami lulus dari kampus, acara ini kemudian menjadi inspirasi lahirnya sebuah komunitas yang digagas oleh teman saya, Klaudia, bersama teman-teman jurusan NFT lainnya. Komunitas ini diberi nama Food Sustainesia. Asumsi saya terdapat tiga kata kunci di sini: Food (makanan), Sustainable (keberlanjutan), dan Indonesia (wilayah cakupan). Sekilas kita seperti sudah mendapatkan gambaran tentang apa yang ingin disasar oleh Foodsustainesia. Namun, pekan ini saya berkesempatan untuk berbincang-bincang hangat dengan Klaudia dalam rangka UN International Youth Day yang mengangkat tema Transforming Food Systems: Youth Innovation for Human and Planetary Health.

Klaudia, yang bernama lengkap Klaudia Roseline, saat ini berperan sebagai Co-Founder dan Chief Marketing Officer (CMO) dari Food Sustainesia. Komunitas ini berawal dari inisiatif masing-masing anggota tim dalam isu food sustainability. Mereka semua satu kampus, sebagian besar satu jurusan – Klaudia, Jaqualine, Dinda, Grace, Milka, dan Devon.

“Jadi pertama kali kenal yang namanya food sustainability system itu gara-gara ketemu sama komunitas-komunitas lainnya, sharing antara komunitas-komunitas besar yang sudah lebih dahulu membahas mengenai pangan dan sistem pangan termasuk food waste dan lainnya.” Jelas perempuan berambut lurus sebahu itu.

“Kalau secara pribadi, sebenarnya sih awal mulanya kenal-kenal gitu aja ya, setelah dipahami makin ke sini, aku ngeliat di sebagian daerah, kok banyak, ya, orang-orang sekarang itu yang buang-buang makanan. Tapi, di sisi lain banyak juga orang yang susah makan! Bayangin kalau misalnya makanan yang terbuang percuma ini bisa dialokasiin untuk orang-orang yang ga bisa makan, tentu akan lebih baik lagi keseimbangannya.” Tambahnya.

Klaudia sendiri pernah melihatnya fenomena ketimpangan sumber makanan yang terjadi secara langsung di depan matanya. Saat itu, ia tengah berada di daerah dekat dengan Gunung Bromo. Di sana, ia melihat banyak hasil-hasil panen seperti kentang, kol, wortel, tomat, yang hanya diletakkan di depan rumah warga dalam karung-karung bak tumpukan sampah.

“…dan di sana orang-orang pada bilang makanan itu nggak laku, gara-gara over panen dan dijual dengan harga sangat murah. Sekiloannya cuma seribu rupiah tapi nggak ada yang mau beli saking banyaknya dan demandnya nggak ada. Dari sini aku ngeliat ketimpangan banget. Daerah belahan lain banyak yang warganya nggak bisa makan. Sedangkan di sini, makanan berlimpah sampai dibuang-buang dan seolah nggak ada harganya.” Ceritanya.

“Andaikan makanan-makanan itu bisa disalurkan dengan baik, otomatis nggak ada lagi kelaparan…” Inilah yang kemudian menjadi salah satu urgensi berdirinya Food Sustainesia.

Di Food Sustainesia, Klaudia dan teman-teman berokus untuk mengkampanyekan dan melakukan empowerment kepada publik, khususnya anak-anak muda untuk lebih paham tentang isu keberlanjutan pangan dan dapat menyalurkan niat baiknya untuk mengambil aksi.

“Kita encourage anak muda untuk take small step untuk bisa membantu mewujudkan keberlanjutan pangan .”

Anak-anak muda memiliki peran penting di sini. Menurut Klaudia, sebagai Agent of Change, anak-anak muda sudah memiliki kapabilitas yang luar biasa ditambah lagi dengan dekatnya generasi ini kepada media digital dan internet. Tentunya dapat menjangkau lebih banyak orang lagi. Misalnya saja, Food Sustainesia pernah cukup sukses menjalankan sejumlah kampanye digital yang mengedukasi pentingnya keberlangsungan pangan seperti kampanye Piring Kosong dengan ajakan sederhana: “habiskan makananmu!” Ada juga kampanye tentang Ugly Food, kemudian kampanye EatThink dengan slogan “Think Before You Eat.” Kampanye lainnya mengajak anak-anak muda dan masyarakat untuk mulai mengembangkan kebiasaan positif baru yang berkaitan dengan makanan.

“Intinya encourage mereka untuk ngelakuin hal-hal baru yang positif walau pun itu kecil, but it matters. Kami juga memiliki aktivitas edukasi untuk anak-anak muda lewat program-program yang ringan, misalnya ada program NongOl (Nongkrong Online). Kita undang beberapa aktivis, atau millennials yang mereka udah punya kebiasaan sehari-hari yang bisa menginspirasi penonton. Topik lain yang kita angkat misalnya diskusi tentang mengkompos, kesehatan mental, dan giizi, jadi memang macam-macam.” Ujar Klaudia sambil tertawa.

Melalui kegiatan yang dijalankan Food Sustainesia selama kurang lebih dua tahun ini, mereka temukan ternyata banyak anak-anak muda yang tertarik dengan isu keberlanjutan pangan. Sayangnya, semangat ini masih terkendala pada konsistensi. Ada dua hal utama yang ditemui oleh Food Sustainesia: pertama, lemahnya support system. Belum banyak orang-orang di sekitar mereka yang peduli akan hal ini, sehingga ketika mereka mencoba untuk menjadikannya rutin, mereka sadar, ada banyak yang harus mereka “sadarkan” juga. Yang kedua adalah resources, mereka belum memiliki sumber daya untuk mendukung kebiasaan baru ini. Baik dari segi material, maupun pengetahuan dasar yang cukup. Tentunya, Food Sustainesia melihat temuan ini sebagai peluang bagi mereka untuk mengembangkan lagi program edukasi di masa depan.

“Kita sekarang lebih mau fokus lagi ke tiga topik. Pertama, nutrition and health, jadi benar-benar lebih ke kesehatan dan gizi, yang kedua itu adalah tentang food waste, yang ketiga itu adalah tentang sustainable agriculture. Tujuan jangka panjangnya adalah kita ingin membawa orang-orang untuk jauh lebih mindful terhadap apa yang mereka konsumsi.” Tukasnya.

Perjalanan yang masih panjang menanti di depan! Begitu juga dengan yang kami lakukan di SociopreneurID. Kami sama-sama berfokus untuk membangun ekosistem yang sadar akan peran masing-masing dengan mengambil aksi sederhana, yang sesuai dengan kemampuan. Terpenting adalah konsisten untuk dilakukan.

Perbincangan kami malam itu saya tutup dengan bertanya pada Klaudia tentang peran anak muda dalam isu transformasi sistem pangan ke depannya.

“Sebenarnya yang ingin sekali Food Sustainesia sampaikan untuk anak-anak muda di Indonesia adalah generasi muda itu generasi yang pintar-pintar. Kami sudah bertemu banyak anak muda dengan prinsip dan pemikirannya masing-masing atas isu ini, dan seluruh pemikirannya sudah maju. Tentunya, kami ingin anak-anak muda sudah mulai menjadi konsumen yang cerdas. Artinya, tidak hanya berpikir hanya sebatas apa yang ada di depan mata saja. Makanan yang kita makan itu punya perjalanan yang jauh banget sampai bisa ada di depan mata kita. Food is just not about food gitu. Intinya sih, be mindful, think before you eat, be wise buat diri sendiri dan buat lingkungan.”

Kami percaya dengan closing statement Klaudia bahwa hidup ini sejatinya adalah siklus. Apa pun yang kita lakukan hari ini akan berdampak di masa depan. Lagipula, jika bukan generasi muda yang bergerak sekarang, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Pekan ini, SociopreneurID kembali melaksanakan AHAI dan BCreator Online bersama BPK Penabur Metro, Lampung. Dimulai pada hari Kamis pagi, AHAI diikuti oleh siswa kelas V SD dan BCreator diikuti oleh kelas VII dan VIII SMP pada hari Jumat pagi. Di balik layar, terlihat hiruk pikuk lima orang panitia SociopreneurID, termasuk saya, yang sudah melakukan persiapan sejak pukul 7 pagi. Serempak mengenakan dresscode hijau-hijau, warna kebanggan SociopreneurID, kakak-kakak fasilitator membuka sesi dengan ceria bersama para siswa.

Saya dan tim memiliki latar belakang lulusan strata 1, ilmu Entrepreneurship. Kami baru menamatkan studi beberapa tahun yang lalu. Tak terbersit oleh kami sebelumnya untuk mempelajari ilmu pendidikan secara otodidak agar kami dapat membawakan materi dan aktivitas kreatif untuk anak-anak dan remaja dalam setting sekolah. Apalagi melalui kelas daring. Selaku Co-Lead of SociopreneurID Education, pengalaman ini telah membuka mata Christian. Pria yang lebih akrab disapa Titi ini menjadi ketua penyelenggara AHAI dan BCreator Online bersama BPK Penabur Metro, Lampung.

Titi sendiri turut menjadi pemateri. Ia membawakan tentang “Fibonacci dalam Kehidupan Sehari-Hari” saat AHAI, dan membawakan sesi “Let’s Think Creatively” dan “I Made It” saat BCreator. Walau dalam pelaksanaannya, kendala teknis seperti sinyal atau kendala device yang digunakan peserta masih menjadi isu tak terelakkan, setidaknya Titi dan kakak-kakak fasilitator lainnya telah membawakan kegiatan semaksimal mungkin.

Siang itu, seusai kegiatan berakhir, saya berbincang dengan Titi tentang program AHAI dan BCreator secara mendalam. Sambil menyantap makan siang, obrolan kami pun menjadi sumber inspirasi dari tulisan ini yang ingin kami sebar luaskan kepada Anda tentang semangat di balik penyelenggaraan program edukasi SociopreneurID.

“Pada dasarnya kan, SociopreneurID percaya bahwa setiap anak itu kreatif. Program AHAI dan BCreator ini dibuat dan dikembangkan dengan tujuan mengasah kreativitas dan inovasi anak-anak dan remaja.” Ujar Titi menjelaskan tentang program divisinya.

“AHAI ditujukan untuk anak-anak SD kelas 4-6 untuk bisa bermain sambil belajar kreativitas. Di AHAI, anak-anak diajak oleh fasilitator untuk berani bermimpi, melihat apa yang ingin mereka tuju di masa depan. Kemudian, mereka didorong untuk berani mencoba mengeksplorasi banyak hal di sekitarnya, tidak takut gagal dan terus mendorong rasa ingin tahu-nya. Sementara itu, BCreator ditujukan untuk anak-anak remaja jenjang SMP dan SMA. Jika tadi pada jenjang SD sudah didorong untuk berani eksplorasi, berani bermimpi, mencoba, dan tidak takut gagal, di SMP dan SMA mereka didorong untuk mengeksplorasi dirinya secara mendalam, mengetahui apa yang membuat mereka unik. Setelah mengenal diri, mereka juga mengenal lingkungan sekitarnya, melihat dari berbagai sudut pandang, mengeksplorasi rasa ingin tahu-nya lebih mendalam untuk bisa melihat apa yang dapat mereka ciptakan di masa depan.” Tambahnya.

Dalam kedua aktivitas ini, para siswa dikenalkan dengan metode dan proses berpikir kreatif serta kepekaan terhadap sekitar, sehingga nantinya para siswa mampu menghasilkan karya-karya yang membawa dampak positif. Program AHAI dan BCreator Online ini diharapkan dapat menjadi alternatif yang menjawab tantangan pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat ini (baca juga tentang PJJ di sini).

“Saat ini bisa dibilang, kan pembelajaran yang sebelumnya itu offline, guru berinteraksi dengan siswa, siswa dengan teman-teman secara berkelompok, semenjak pandemi harus berubah menjadi online. Perlu disadari bahwa tidak semua dari kita siap, baik dari pihak sekolah atau pun dari lembaga pendidikan lainnya. Para siswa juga harus melalui perubahan yang cukup signifikan. Ketika seusia mereka naturnya adalah bermain dan berinteraksi dengan teman, saat ini, semua dilakukan serba online. Hal ini akan memengaruhi yang kami sebut di SociopreneurID sebagai PhISeS Skills (Physical, Intellectual, Social-emotional, dan Spiritual Skills). Selama masa pembelajaran online ini, World Economic Forum menyatakan turunnya interaksi dan aspek social-emotional pada anak-anak sebesar 45%. Jadi, mereka sering merasa berada dalam kesendirian. Belum lagi adanya kendala lain seperti orang tua dan guru yang belum terlalu melek teknologi, hal ini akan menambah tantangan belajar bagi para siswa.” Lanjut Titi sambil menunjukkan bahan bacaan dari WEF kepada saya.

Pembelajaran daring ini sudah hampir berlangsung selama 2 tahun. Dengan tantangan kejenuhan dan interaksi yang minim, Titi merasa hal ini membutuhkan solusi dan alternatif yang cepat. Jika tidak, kegiatan belajar akan menjadi semakin membosankan dan para siswa cenderung mengakses hiburan-hiburan yang memakan sebagian besar waktu mereka setiap harinya, tanpa mempelajari hal-hal esensial.

“…sehingga, ada urgensi untuk mengembangkan AHAI dan BCreator Online dengan menguatkan unsur PhISeS Skills meski pun dilakukan jarak jauh. Saat ini, sebenarnya sudah ada beragam aplikasi, tools atau pun media pembelajaran yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong siswa menjadi lebih aktif dan interaktif. Meski waktu pembelajarannya memang lebih singkat, tapi inilah, mereka bisa bermain sambil belajar, membangun aktivitas, tidak hanya melihat-lihat dari monitor saja, tapi juga melihat sekelilingnya, mencoba berbagai hal yang melatih soft skill-nya.” Keseimbangan inilah yang diharapkan dapat dibangun melalui AHAI dan BCreator Online.

“Emang bener-bener suatu tantangan baru “menyulap” aktivitas offline menjadi online. Tapi mau bagaimana pun tantangannya, ini memang sudah jalannya. Tidak hanya siswa saja yang belajar, tapi kitanya juga belajar mulai dari memanfaatkan berbagai macam teknologi, mencari cara meningkatkan interaksi online, adaptasi dengan kultur pengajaran sekolah yang berbeda-beda, dengan orang tua yang terkadang ikut serta dalam proses belajar…  Harapannya ketika guru dan orang tua mengikuti AHAI dan BCreator Online, mereka juga bisa membuat variasi aktivitas yang serupa dan/atau menduplikasi kegiatan AHAI dan BCreator Online secara mandiri. Dengan begitu, ekosistem belajar yang kondusif, seimbang, dan wellness dapat terwujud. Iya, ‘kan?” Tutup Titi.

Tanpa disadari, meja diskusi saya dan Titi kini sudah dipenuhi oleh rekan-rekan SociopreneurID lainnya. Diskusi pun berlangsung lebih hangat. Ide-ide dan hasil pengamatan pelaksanaan program menjadi pembahasan yang seru siang itu, sehingga tanpa kami sadari, hari sudah berganti petang. Langit pun mulai gelap. Titi mengajak kami untuk bersiap pulang.

Perjalanan dan upaya mewujudkan keseimbangan ekosistem belajar ini masih panjang. Ada banyak pengembangan dan perbaikan pada program AHAI dan BCreator Online yang sudah kami jalankan. Empathy Project Virtual 2021 menjadi momentum bagi kami untuk mengenalkan dan menyebar luaskan aktivitas edukatif dan menyenangkan pada AHAI dan BCreator Online kepada khalayak umum. Dalam rangkaian Empathy Project Virtual 2021, kami akan kembali menghadirkan AHAI Online sebagai salah satu program di acara puncak Empathy Project Virtual 2021 beberapa pekan mendatang. Penasaran seperti apa programnya? Stay tuned!

Dalam rangka memeringati Hari Anak Nasional bulan lalu, SociopreneurID Publishing mengangkat salah satu cerita dan pengalaman di balik pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pada tulisan tersebut, salah seorang guru di sebuah sekolah swasta di Padang menceritakan pengalamannya menyikapi proses pembelajaran daring yang rentan memicu rasa jenuh jika siswa tidak diberikan variasi selama pembelajaran.

Selain itu, minimnya interaksi fisik dan interaksi secara langsung, terkadang memicu miskomunikasi antara guru dengan siswa. Belum lagi jika orang tua terlibat dalam prosesnya. Cerita-cerita dari pelaksanaan PJJ ini masih menjadi salah satu isu hangat untuk dibahas, terutama di Indonesia. Mulai dari adaptasi guru dan orang tua terkait teknologi penunjang sarana pembelajaran siswa, variasi materi ajar yang harus disiapkan oleh guru, hingga tips dan trik menjaga atensi siswa selama proses PJJ berlangsung.

Menyikapi tantangan-tantangan ini, sejak bulan April 2021, SociopreneurID terlibat dalam rangkaian capacity building untuk guru-guru SMP dari sekolah interfaith di Kota Padang. Program ini merupakan kerja sama oleh SDGs Center Universitas Andalas, Padang dengan GIZ-Jerman. Melalui program inilah, kami turut merespon fenomena PJJ di tengah pandemi Covid-19, dengan ikut memberikan mengidentifikasi, mengobservasi tantangan serta peluang, dan mencari best-practice yang dapat diterapkan oleh sekolah-sekolah yang menerapkan PJJ hingga hari ini.

Keterlibatan sudah kami mulai sejak awal tahun 2021 dengan memberikan pelatihan terhadap guru-guru sekolah interfaith di Kota Padang. Minggu ini, kegiatan berfokus pada “Monitoring the Implementation of New Distance Learning” adalah mengumpulkan dan menganalisis pelaksanaan proses PJJ yang telah diterapkan di sekolah-sekolah, khususnya yang berada dibawah lembaga keagamaan di kota Padang selama masa pandemic Covid 19. Melalui fokus ini, hasil pengamatan yang sudah dianalisis dapat menjadi acuan untuk perbaikan dalam menjalankan proses pembelajaran ke depannya. Kegiatan ini telah menjaring 20 sekolah tingkat SMP dan sederajat yang dinaungi oleh lembaga keagamaan yang tersebar di kota Padang dan dari luar Padang.

“Meskipun kegiatan ini dirancang untuk sekolah-sekolah di bawah lembaga keagamaan, namun kemungkinan berbagi penemuan dan pembelajaran yang kami dapatkan ke sekolah-sekolah lainnya di Indonesia akan dilakukan dalam waktu dekat” ujar Prof. Elfindri selaku Kepala SDGs Center Universitas Andalas.

Melalui keterlibatan kami sejauh ini, kami mengidentifikasi tantangan utama pada guru dalam penyajian materi yang dapat membangun partisipasi siswa. Pemanfaatan fitur daring nomor dua, sebab sekolah-sekolah sudah memiliki platform pembelajarannya sendiri untuk PJJ, tinggal memaksimalkannya saja. Executive director SociopreneurID, Dessy Aliandrina, berbagi cara membangun narasi yang sesuai dengan materi ajar. Dessy mengajak guru-guru untuk menjelajah gamifikasi sebagai metode pengajaran yang mampu membangun antusiasme siswa selama PJJ berlangsung.

Dimulai dari contoh-contoh sederhana dan dari hal-hal yang dekat dengan siswa, misalnya, pada pelajaran peluang di Matematika, guru dapat menggunakan permainan “padu padan.” Siswa diminta untuk melihat lemari pakaiannya, menghitung berapa pasang atasan dan bawahan yang mereka miliki, dan kemudian menghitung peluang padu padan dari pakaian yang mereka miliki. Contoh lain untuk pelajaran Sejarah, guru dapat menyiapkan narasi permainan “memecahkan misteri” yang mengajak siswa untuk memecahkan klu-klu berkaitan dengan kejadian atau figur-figur dalam pelajaran sejarah.

Tindak lanjut dari sesi yang dipaparkan waktu itu, sudah ada sekolah yang menerapkan PJJ dengan memadukan alat dan bahan sederhana yang harus disiapkan sendiri oleh masing-masing siswa dengan slide materi ajar yang interaktif. Bapak Afrizaldo, contohnya, seorang guru Matematika di SMP IT Ar-Royyan Padang yang meminta siswa untuk membawa koin/batu/kelereng/biji congklak saat kelas berlangsung. Ternyata benda-benda tersebut digunakan oleh siswa untuk dapat memahami materi Deret Bilangan. Dipadu dengan slide yang interaktif (gambar dan animasi sederhana dari flash)dan instruksi dari Pak Afrizaldo yang jelas, kami mengamati antusiasme dari para siswa. Tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan yang diberikan, siswa juga terlihat antusias menunjukkan hasil pekerjaan mereka kepada teman-temannya.

Untuk menguji pemahaman siswa di hari itu, Bapak Afrizaldo membuat kuis-kuis menggunakan platform umum yang dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh setiap orang. Metode ini juga mampu meningkatkan interaksi dan ketertarikan siswa dalam mengikuti PJJ. Alhasil, tanpa harus diinstruksikan, siswa melontarkan sejumlah pertanyaan yang relevan dengan materi ajar. Guru juga menyediakan jadwal di luar sesi PJJ bagi siswa yang masih ingin bertanya-tanya seputar materi. Inilah yang kami lihat sebagai peluang dari PJJ saat ini.

Di saat guru dan siswa terpaut oleh jarak secara fisik, informasi dan teknologi yang berkembang dengan cepat dapat menjadi “teman” yang mendekatkan satu sama lain. Guru kini tak hanya bertugas untuk menyampaikan materi ajar, namun menjadi fasilitator berbagi, bermain, dan bercerita yang menjawab rasa haus dan penasaran dari para siswa. Interaksi yang terbangun menerobos rasa jenuh dan khawatir terlebih di masa pandemi ini. Dan di sinilah, wellness bagi kedua belah pihak meningkat.

Tahun lalu, di tengah kocar-kacirnya dunia menghadapi pandemi Covid-19, SociopreneurID meluncurkan sebuah program inkubasi daring bernama Virtual Lab. Berbekal keyakinan kami bahwa masih banyak inisiatif-inisiatif sosial yang dapat bergerak maju walau di tengah pasang surut sosial-ekonomi Indonesia. Virtual Lab kami jalankan selama enam bulan dimulai dari bulan Agustus 2020.

Melalui Virtual Lab-lah kami bertemu dengan Westiani Agustin, yang lebih akrab disapa Ani. Perempuan dengan ciri khas senang mengikat rambut dan menggunakan bandana ini merupakan salah satu inisiator sosial yang mendirikan Biyung Indonesia.

Biyung Indonesia merupakan inisiatif sosial yang bergerak untuk mengedukasi dan mengampanyekan Hak Hidup Sehat Perempuan & Lingkungan melalui aktivitas “Perempuan Bantu Perempuan.”

Mba Ani mendirikan Biyung Indonesia pada tahun 2016 di Bantul, Yogyakarta, sebagai upaya untuk menjawab tantangan sampah pembalut sekali pakai yang diproduksi menggunakan material yang mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh dan lingkungan, seperti dioxin, pemutih, pewangi, serta campuran plastik.

Dari hitungan kasar saja, jika ada sekitar tujuh puluh juta perempuan di Indonesia yang masih aktif menstruasi dan membutuhkan sekitar 20 lembar pembalut setiap bulannya, maka ada sekitar 1,4 Milyar lembar pembalut tersebar di daratan dan perairain Indonesia setiap bulannya! Sementara itu, Mba Ani menemukan fakta bahwa tiga perempat dari jumlah perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka menghadapi masalah seperti tak memiliki alternatif pengganti pembalut sekali pakai yang harganya terjangkau, mengalami gangguan kesehatan reproduksi, dan “terpaksa” menjadi kontributor penumpukan sampah pembalut sekali pakai baik di daratan dan perairan.

Melalui Biyung Indonesia, Mba Ani memperjuangkan Hak Hidup Sehat melalui program-program edukasi, memproduksi pembalut kain berikut dengan produk pendukung menstruasi sehat, dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjangkau lebih banyak lagi perempuan Indonesia.

Menempuh masa pandemi tahun lalu, Biyung Indonesia sempat mengalami fase turbulensi. “Secara signifikan, pandemi berdampak pada penurunan 70% penjualan kami. Re-seller Biyung Indonesia banyak yang tutup, bahkan gaji untuk empat orang tim inti kami harus mundur dan diangsur. Aktivitas workshop juga banyak yang harus dibatalkan. Saat awal pandemi, kami masih berada di Papua untuk workshop dengan perempuan di 3 kabupaten Papua, 1 kabupaten terpaksa dibatalkan dan kami dipulangkan. Padahal kami melakukan penggalangan dana selama 1 tahun untuk bisa berangkat ke Papua dan menyelenggarakan kegiatan tersebut.” Cerita Mba Ani kepada kami.

Tak butuh waktu lama bagi Mba Ani untuk melihat titik terang di balik kondisi tersebut. “Namun, kami dilihatkan juga betapa beruntungnya kami. Banyak kawan datang membantu, mendukung dan mengajak bekerja sama. Jadi merasa sangat beruntung ternyata kami masih punya privilege bisa survive di masa pandemi.”

“Hal ini mendorong kami untuk semakin menguatkan kampanye kami, karena perempuan yang mengalami period poverty pasti jauh lebih kesulitan di masa pandemi. Awal mula bangkit, kami memang sempat tergagap. Belajar lagi untuk beradaptasi dan memaksimalkan jaringan kerja dan teknologi komunikasi daring hari ini. Mengajak atau diajak kolaborasi untuk memperluas edukasi dan mengajak banyak pihak untuk mau terlibat dalam gerakan yang kami usung dengan tagline ‘Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain.’” tambahnya.

Tak lama setelah itu, Mba Ani diajak bekerja sama dengan lembaga perempuan untuk melakukan tetap meneruskan misi sosial melalui penggalangan dana dan membagikan pembalut kain gratis di kampung-kampung area Yogyakarta. “Latar belakang aktivitas ini adalah karena bantuan-bantuan yang perempuan terima hanya berupa sembako. Penghasilan mereka saat ini bisa dibilang berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Sementara kebutuhan rutin seperti membeli pembalut tidak pernah terpikirkan oleh pihak mana pun. Inilah yang membuat kami kembali bersemangat, bahwa kami tetap bisa meneruskan misi kami meski di tengah pandemi.”

Melalui gerakan Perempuan Bantu Perempuan, Mba Ani yakin, bahwa setiap perempuan memegang peran penting terciptanya harmoni sebab kekuatan terbesar dari gerakan ini adalah sesama perempuan saling bantu, saling mendukung dan saling menguatkan. Sesama perempuanlah yang paling memahami kebutuhan, kesulitan, kesedihan dan tantangan yang dihadapi.

“Gerakan ini akan lebih mudah dijalankan dan terwujud, jika kita fokus dengan memulainya dengan menguatkan perempuannya, bukan pada menuntut masalah di luar yang sangat kompleks dan di luar kapasitas kita. JIka kita sudah mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama, perempuan akan semakin kuat berjalan dan berjuang bersama untuk melakukan perubahan yang kita harapkan.” ujar Mba Ani.

Anda masih ingat tentang konsep wellness individual ke wellness sosial yang diceritakan oleh Pak Donni pada post sebelumnya? Melalui gerakan yang diusung, Mba Ani secara perlahan telah membuat perempuan-perempuan di sekitarnya berdayaguna, dimulai dari menyadari apa yang dapat dilakukan sendiri kemudian perlahan beralih kepada orang lain. Mba Ani mengajak setiap perempuan untuk mengambil bagian dalam gerakan ini melalui:

1. Berdaya dari diri sendiri dengan kenali dan cintai diri kita sebagai perempuan. Setiap perempuan adalah individu yang berharga dan punya hak untuk hidup damai dan sejahtera;

2. Peluk dan dukung selalu perempuan yang ada di sekitar kita, terutama perempuan yang membutuhkan (yang terdekat adalah Ibu kita)

3. Jika merasa cukup mampu, baik secara fisik dan mental, bisa terlbat dalam aktivitas-aktivitas yang mendukung isu perempuan, atau memulai inisiatif sederhana dan dekat dengan kita, membantu saudara, tetangga, teman atau komunitas perempuan, untuk memulai hal nomor 1 dan 2 juga.

Cara yang ditawarkan oleh Mba Ani tidak neko-neko, malah begitu aplikatif dan sederhana. Setiap perempuan pasti bisa melakukannya, dengan begitu wellness sosial akan kembali terwujud.

Sudah siap mewujudkannya? 😉

Oleh: Donni Hadi Waluyo (donnihw@gmail.com)

Tidak bisa dipungkiri situasi saat ini adalah situasi sulit bagi banyak orang. Bukan hanya efek finansial dan biologis yang menghantam, namun banyak juga yang sudah mengalami masalah kesehatan mental. Stres, depresi, panic-attack, paranoid, menjadi istilah yang umum diucapkan sekarang.

Tulisan ini mencoba membuat kita memalingkan fokus kita. Ketimbang berusaha mengobati masalah mental, mari kita mencoba lebih berdayaguna. Mari kita berpindah dari wellness individu ke wellness sosial.

Apa ‘sih wellness itu?

Dari kamus yang disusun oleh American Psychological Association (APA, 2015), wellness didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis dari kesejahteraan fisik, mental, dan sosial (a dynamic state of physical, mental, and social well-being), yang berarti kondisi ketika manusia sehat tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan sosial. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wellness adalah hasil dari empat faktor utama yang dapat dikendalikan oleh seseorang: faktor fisik (kondisi tubuh dan kebugaran), lingkungan hidup, gaya hidup, dan manajemen perawatan kesehatan.

Konsep wellness menyatakan bahwa mempromosikan kesehatan mental dan fisik yang baik lebih penting daripada menyebarkan tentang pengobatan penyakit mental dan fisik. Wellness penting untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosial, meningkatkan kemampuan mengelola stres, meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai situasi, serta mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas hidup dalam situasi sulit sekalipun. Wellness dapat dicapai dengan mengelola keseimbangan diri (fisik, mental, sosial) dalam menghadapi berbagai situasi, baik situasi positif maupun negatif (Gordon, 2021).

Social Wellness

Seperti kita sadari, saat ini kita sedang dihantam oleh dua badai besar yang oleh Founder dan Executive Chairman World Economic Forum, Klaus Schwabb (2020) sebut sebagai The Perfect Storm. Pertama, badai teknologi yang membuat segalanya berubah. Mendisrupsi segala sesuatu, dan menuntut berbagai perubahan perilaku masyarakat. Badai kedua, adalah badai pandemi Covid-19 yang juga mengubah banyak hal. Dua kondisi penuh tantangan ini bersatu dan menimbulkan persoalan besar. Intinya, sekarang semua orang sedang susah. Maka, wellness sangat dibutuhkan saat ini. Setiap orang harus mampu mengelola situasi sulit dengan cara masing-masing agar wellness individual dapat tercipta.

Di awal pandemi, saya pernah mendengar cerita dari seorang sosok yang bernama Ibu Vita. Beliau melihat banyak tetangganya mengalami kesulitan. Bu Vita punya halaman kecil di rumahnya. Ia sisihkan sedikit untuk menanam sayuran, dan membuat kolam kecil untuk ikan lele. Dalam beberapa saat, Ikan lelenya menjadi besar dan sayurannya berbuah. Ia panen dan dibagikan gratis kepada tetangganya yang kesulitan. Cerita ini bergulir, dan ternyata menular. Ini menjadi gerakan sosial di beberapa tempat. Halaman kecil mulai dimanfaatkan. Sebagian menjadi ide untuk bisnis. Tapi banyak yang menjadikannya sebagai gerakan memberi ke tetangga.

Beberapa waktu lalu, saudara saya di Jogja terkena Covid dan isolasi mandiri. Yang menarik adalah ia tidak pernah kekurangan makanan. Tetangga-tetangganya bergiliran membantu. Sampai berlimpah makanan dan juga vitamin-vitamin. Dalam waktu singkat, saudara saya pulih dari Covid. Wellness terjaga, karena ditambah faktor lingkungan yang mendukung. Saya tahu tidak semua tempat bisa begini. Tapi ini patut ditiru.

Teknik Wellness

Ada seorang tokoh besar di dunia Psikologi bernama Viktor Frankl yang menciptakan teknik logoterapi. Inti dari ajaran logoterapi adalah (a) Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna. (b) Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia. (c) Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya. (d) Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai pengalaman (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Salah satu teknik yang ia ajukan dalam logoterapi adalah melakukan derefleksi. Derefleksi adalah mengalihkan perhatian berlebih pada suatu masalah pada suatu hal lain yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluhannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala ‘fokus berlebih pada masalah’ (hyper intention) akan menghilang. Teknik ini mudah dan menarik untuk dicoba.

Bryony Gordon adalah salah satu penggagas kesehatan mental paling tepercaya di Inggris. Ia pendiri lembaga Mental Health Mates, penulis dan tokoh kesehatan mental (yang dulunya adalah penderita kesehatan mental berat). Dalam bukunya No Such Thing As Normal (Gordon, 2021), ia berbagi nasihat dan bimbingan berdasarkan pengalamannya sendiri tentang penyakit mental, yang justru telah membuatnya lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih tangguh.

Ia menyatakan hal menarik, “Apa yang saya alami di masa lalu saya, dalam kondisi gangguan mental berat saya, inilah yang sedang sebagian besar orang rasakan dalam situasi kalut ini. Jadi rupanya, saya mengalami masalah mental di masa lalu, supaya bisa memberi petunjuk kepada banyak orang di masa kini.”

Ada empat sarannya. Pertama, kembali ke basic. Perhatikan cara tidur, makan, minum, bekerja, bahkan bernapas. Saat kita memahami koneksi hal-hal basic ini dengan pikiran kita, maka kita mampu mengelola kesehatan mental. Kedua, memiliki support system, mempelajari berbagai jenis terapi, pengobatan, memilih sahabat yang baik, dan mengetahui kapan harus meminta bantuan. Ketiga, mengenali emosi. Ini mencakup menjelajahi kekuatiran, kecemasan, stres, dan pikiran yang mengganggu sehari-hari. Keempat, membangun koneksi dengan lingkungan sosial yang tepat. Ini termasuk mengenali dan mengakhiri hubungan yang toxic, membangun wellbeing dan kebahagiaan yang berasal dari menolong orang lain, serta memilih hubungan mana yang layak dipelihara dan mana yang harus dilepaskan.

***

Saya kenal seorang refugee bernama Khalilullah Mohebi dalam sebuah acara kerja sama antara SociopreneurID dan International Organization for Migration. Dalam acara itu, ia menceritakan bahwa ia punya misi untuk menolong sesama refugee lain tanpa imbalan. Tidak harus sesuatu yang besar, intinya ingin mengembalikan senyuman pada para refugee lain terutama anak-anak. Ia memutuskan untuk membuat project membantu sesama refugee di tempatnya. Apa yang ia kerjakan? Ia akan secara bertahap memasak, mencuci piring, sambil membagikan notes kutipan-kutipan motivasional. Ia lakukan tanpa pamrih, dan ia organisir beberapa temannya Mujtaba, Mehdi, Haidari, dan Ali untuk melakukan hal yang sama. Luar biasa. Sebagai seorang refugee tentu Khalil punya masalahnya sendiri, namun ia bisa mengalihkan fokus dari tantangan menjadi solusi. Ia bisa mengalihkan fokus dari dirinya ke orang lain. Ia bisa tetap aktif dan sehat dalam situasi sulit. Inilah wellness. Dalam berbagai situasi, ia tetap sehat fisik, mental, dan sosialnya. Ia tetap berfungsi sebagai manusia utuh. Ia tetap “well”. Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa kita tidak harus menunggu untuk punya kekayaan luar biasa agar bisa menyumbang 2 trilyun dan mulai menolong orang lain. Kita bisa mulai dari apa yang ada. Tanpa disadari kegiatan menolong orang lain ini, sebenarnya menimbulkan kebahagiaan yang bersumber dari diproduksinya hormon Oxytocin. Produksi Oxytosin akan menghilangkan cortisol, yaitu hormon kecemasan yang menurunkan imun. Jadi menolong orang lain bisa meningkatkan imun, ini cara ampuh untuk melawan virus, bukan?