test

test

Spread the Kindness

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Audrey Verena (22) – mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial – memiliki kebiasaan yang baik namun mulai jarang ditemukan di kehidupan anak-anak muda saat ini, yakni berjalan kaki. Sebuah kegiatan yang mudah namun berdampak besar, baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan. Kebiasaan berjalan kaki ini merupakan kebiasaan yang dilakukan Audrey sejak usia sekolah, dilakukan bersama teman-teman lainnya, hingga kini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Audrey memulai kebiasaan jalan kaki sejak masih usia Sekolah Dasar. Saat itu, jarak rumah dan gerejanya cukup dekat sehingga bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki selama 15 menit. Karena rutin berjalan kaki ke gereja setiap minggu, kebiasaan tersebut terbawa menjadi kebiasaan menuju sekolah, stasiun, hingga kini terbiasa saat bepergian kemanapun. Alasan utama dari memulai kebiasaan berjalan kaki adalah untuk menghemat ongkos. Namun, ternyata dampak besar lainnya tanpa disadari mengikutinya, seperti membentuk ketahanan tubuh, mampu mengurangi stress, serta membantu menjaga lingkungan seperti untuk mengurangi jejak emisi karbon dan pencemaran udara.

Emisi karbon yang sejatinya merupakan hasil pembakaran senyawa bahan bakar, menjadi salah satu faktor terjadinya pencemaran udara, perubahan iklim, serta pemanasan global. Setiap orang yang turut berkontribusi dalam melepaskan hasil pembakaran senyawa bahan bakar, maka ikut berkontribusi dalam meninggalkan jejak emisi karbon. Tentu dalam jangka waktu yang panjang akan merusak bumi dan kehidupan manusia.

Hal-hal tersebut tentu lama-lama disadari oleh Audrey. Karena itu, kini Audrey memiliki rasa bersalah jika harus bepergian menggunakan kendaraan bermotor jika tempat yang ditujunya tidak terlalu jauh, meskipun kendaraan bermotor kini kian aksesibel dan angkutan umum terus bertransformasi menjadi lebih baik. Dengan kesadaran tersebut, Audrey mengajak lebih banyak teman-temannya memulai kebiasaan berjalan kaki. Audrey mengganti istilah “jalan kaki” menjadi “bergerak” atau “olahraga” agar teman-temannya tergerak untuk ikut membiasakan diri berjalan kaki.

Selain mengajak teman-temannya melakukan kebiasaan ini saat bepergian, Audrey juga turut mengajak teman-teman lainnya melalui media sosial. Audrey kerapmembagikan kisah-kisah kebiasaan berjalan kaki bersama teman-temannya pada laman Instagramnya dengan menggunakan tagar #yukjalankaki. Dengan begitu, Audrey berharap dapat membuat lebih banyak orang untuk menyadari dampak baik berjalan kaki.

Kepada Sociopreneur Indonesia, Audrey menceritakan bahwa berjalan kaki kelihatan seperti kegiatan yang mudah, namun nyatanya sulit dilakukan karena fasilitas pejalan kaki yang belum memadai serta belum terintegrasi dengan angkutan umum. Hidup di kota besar dengan kemudahan mengakses kendaraan bermotor merupakan tantangan tersendiri, namun menurut Audrey ada tantangan yang lebih besar lagi, yakni niat dalam diri sendiri.

Audrey juga mengajak lebih banyak orang untuk turut berkontribusi bagi kebaikan lingkungan. Audrey berpesan, “jalan kaki itu olahraga paling mudah dan murah yang bisa kita lakukan setiap hari. Manfaat yang didapatkan gak hanya untuk kesehatan tubuh kita saja, tapi dampaknya juga bagi kelestarian lingkungan. Langkah kecil tetap punya dampak besar untuk bumi kita. Yuk, kita mulai jalan kaki!”

Sociopreneur Indonesia dengan senang hati menyebut Audrey sebagai Earthvenger Hero karena turut mengurangi emisi karbon dan menjaga bumi lewat langkah-langkah kecil di kehidupan sehari-hari. Setiap hal kecil pasti berdampak, setiap dampak memberi pengaruh, dan setiap pengaruh membawa bumi menjadi lebih baik. Melalui gerakan Earthvenger, kita bisa turut menyayangi bumi dan mengajak lebih banyak orang untuk terlibat menjadi Earthvenger Hero!

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Catalyst 2030 adalah sebuah gerakan yang dilakoni oleh social entrepreneurship dan inovator sosial dari berbagai sektor. Acara ini dibuat sebagai wadah untuk saling berbagi tujuan, menciptakan inovasi, serta berkolaborasi untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). Membawa Empathy Project ke ranah global, Sociopreneur Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Dalam Catalysing Change Week 2022, Sociopreneur Indonesia diberi kesempatan sebagai perwakilan dari Indonesia untuk berbagi tentang peran empati dan contoh penerapannya dalam rangkaian program Empathy Project.

Catalysing Change Week 2022 – Empathy Project telah berlangsung pada Rabu, 11 Mei 2022, dipandu oleh dua moderator yakni Heru Wijayanto dan Novianta Hutagalung dengan lima pembicara, diantaranya Dessy Aliandrina, Donni Hadi Waluyo, Niki Prastomo, Ida Bagus Kade Syumanjaya, dan Her Suharyanto. Kelimanya merupakan subject-matter experts di Sociopreneur Indonesia. Acara ini dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama membahas tentang “Empathy as A Start of the Responsible Ecosystem”. Sedangkan, pada sesi kedua membahas tentang “Amplify, Accelerate, Action through Empathy Project”.

Pada sesi pertama, setiap pembicara menceritakan makna dari empati. Pada dasarnya, empati dibangun untuk menciptakan ekosistem atau kehidupan yang bertanggung jawab (responsible ecosystem). Sejak manusia hidup berdampingan dengan teknologi, realisasi rasa “empati” seperti bergeser, seperti cukup dengan memberikan “like” pada unggahan di sosial media, membagikan video-video tentang alam, atau memberikan komentar positif pada sosial media orang lain dan berhenti disana. Dengan empati, akan lebih banyak orang beranjak untuk melampaui itu semua. Empati yang dibangun diharapkan mampu menggerakan lebih banyak orang untuk memiliki rasa tanggung jawab atas kehidupan bersama dan saling berkolaborasi.

Niki Prastomo pada sesi ini menceritakan bahwa dalam dunia riset, empati adalah salah satu hal yang utama. Jika tidak dengan empati, maka hasil riset dan penyelesaian masalahnya hanya menjadi paper. Realisasi lapangan berangkat dari empati setiap orang dan dilakukan secara kolektif. Empathy project menjadi contoh langkah awal.

Setelah sesi 1 berlangsung, pemaparan dilanjutkan pada sesi 2. Sebelum masuk ke dalam diskusi, ada video pendek mengenai Empathy Project yang gunanya untuk memberikan konteks pada audiens tentang apa itu Empathy Project, program yang menyusun rangkai Empathy Project seperti kampanye Earthveanger, AHAI, BYTE, dan lain sebagainya. Kegiatannya berupa ajakan kampanye melalui media sosial, kegiatan bermain dan belajar bersama dengan mengajak sekolah-sekolah, memberikan pelatihan pada usia muda, dan lain sebagainya. Lebih rincinya, kemudian dijelaskan di dalam sesi 2 mengenai implementasi program Empathy project sebagai wujud dari Responsible Ecosystem yang sudah dibahas sebelumnya. Program-program yang dilakukan SID juga merupakan wujud implementasi dari beberapa poin SDGs.

Seperti kampanye Earthvenger untuk merepresentasikan poin SDGs yang berkaitan dengan lingkungan. Ada pula program AHAI (Anak Hebat Anak Indonesia) untuk mewujudkan tujuan SDGs poin 4 tentang Quality Education (Pendidikan Berkualitas). Menurut Niki, aktivitas selama rangkaian acara fokus pada bagaimana memunculkan rasa ingin tahu. Hal ini bisa menumbuhkan kreativitas anak dalam memecahkan masalah.

Melalui program yang didukung oleh banyak stakeholder ini pun secara langsung mendukung SDGs poin 17 (Partnership for The Goals). Menurut Her Suharyanto, melalui kegiatan Empathy Project, maka kita bisa menemukan partisipan dari segala usia, dari pelajar hingga para profesional, dari usahawan hingga NGO, SME hingga pemerintah, lalu mereka bekerja sama untuk menjalankan program ini.

Setiap program SID pun dipaparkan melalui masing-masing sudut pandang berdasarkan bidang profesional yang didalami, baik itu dari bidang bisnis, teknologi, hingga jurnalis. Sehingga, pemahaman terkait empati dan bagaimana membentuknya menjadi kolaborasi dengan kepentingan masing-masing menjadi luas akan pengetahuan.

Sesi dua ini pun membahas bagaimana sebuah kolaborasi bisa terbentuk. Beberapa speaker memiliki pernyataannya masing-masing. Seperti pemaparan Ida Bagus yang mengatakan bahwa terwujudnya sebuah kolaborasi pada awalnya kita fokus pada kekuatan apa yang dimiliki. Kedua, memahami masalah apa yang terjadi dan inovasi apa yang tepat untuk dilakukan dengan fokus pada sumber daya yang ada. Ketiga, fokus pada jejaring yang dimiliki dan ke depannya bisa memperluas jaringan tersebut.

Jadi, itulah sekilas terkait pemahaman apa saja yang dipaparkan selama sesi diskusi dalam kegiatan Catalysing Change Week 2022. Semoga kegiatan ini bisa menjadi pendorong bagi pembaca untuk mulai mengambil peran dan menyebarkannya pada orang lain, sehingga tercipta responsible ecosystem yang didasari oleh rasa empati.

Nantikan tayangan ulang sesi Empathy Project pada Catalysing Change Week 2022!

Discussing Empathy Project at Catalysing Change Week 2022

English Version, translated by Jessica Wiane Alie (@jessicawiane) – Research Intern at Youth Team SociopreneurID

Catalyst 2030 is a movement led by social entrepreneurs and social innovators working to improve the world. This event was created as a forum for sharing goals, developing innovation, and working together to achieve the Sustainable Development Goals (SDGs). Sociopreneur Indonesia is a part of the Empathy Project, which aims to bring empathy and understanding to a global level. During the Catalysing Change Week 2022, Sociopreneur Indonesia was allowed to share the experiences and use of compassion in the Empathy Project series of programs.

Catalysing Change Week 2022: Empathy Project took place on Wednesday, May 11, 2022, hosted by two moderators, namely Heru Wijayanto and Novianta Hutagalung, with five speakers, including Dessy Aliandrina, Donni Hadi Waluyo, Niki Prastomo, Ida Bagus Kade Syumanjaya, and Her Suharyanto. The five of them are subject-matter experts at Sociopreneur Indonesia. This event is divided into two sessions. The first session discussed “Empathy as A Start of the Responsible Ecosystem”. Meanwhile, the second session discussed the “Amplify, Accelerate, Action through Empathy Project”.

In the first session, each speaker shared the meaning of empathy. Empathy is built to create a responsible ecosystem or life. Since humans live side by side with technology, the realisation of the sense of “empathy” has shifted, such as simply giving “likes” to uploads on social media, sharing videos about nature, or giving positive comments on other people’s social media and stopping there. With empathy, more people will go beyond it all. The built empathy is expected to be able to move more people to have a sense of responsibility for living together and collaborating.

Niki Prastomo, in this session, said that in the world of research, empathy is one of the main things. If not supported with compassion, the study and problem-solving results will only become a theory. Field realisation departs from everyone’s sympathy and is carried out collectively. The empathy project is an example of the first step.

After session 1 took place, the presentation was continued in session 2. Before entering into the discussion, there is a short video about the Empathy Project, which is used to provide context to the audience about the Empathy Project; the program composes a series of Empathy Projects such as the campaign Earthvenger, AHAI, BYTE, and so forth. The activities include campaign invitations through social media, playing and learning activities together by inviting schools, providing training at a young age, etc. In more detail, it will be explained in session two regarding the implementation of the Empathy project program as a manifestation of the Responsible Ecosystem that has been discussed previously. The programs carried out by SID are also a form of implementation of several SDGs points.

Like the Earthvenger campaign to represent the SDGs points related to the environment, there is also the AHAI (Marvelous Kids of Indonesia) program to realise the goal of SDGs point 4 regarding Quality Education. According to Niki, the activities during the series of events focused on how to arouse curiosity. This can foster children’s creativity in solving problems.

This program, supported by many stakeholders, also directly supports SDGs point 17 (Partnerships for The Goals). According to Her Suharyanto, through the Empathy Project, we can find participants of all ages, from students to professionals, entrepreneurs to NGOs, and SMEs to the government. They work together to run this program.

Each SID program is also presented from each point of view based on the professional fields studied, be it from business and technology to journalists. Thus, understanding related to empathy and how to shape it into collaboration with each other’s interests will broaden knowledge.

Session two also discussed how collaboration could be formed. Some speakers have their statements. Like the presentation of Ida Bagus, who said that in the realisation of cooperation, we first focus on what strengths we have. Second, understand what problems occur and what innovations are appropriate to do, focusing on existing resources. Third, focus on the owned network and, in the future, can expand the network.

So, that’s a glimpse of what understanding was presented during the discussion session in the Catalysing Change Week 2022 activity. Hopefully, this activity can be an impetus for readers to start taking roles and spreading it to others to create a responsible ecosystem based on empathy.

Look out for a rerun of the Empathy Project session at Catalysing Change Week 2022!

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Sociopreneur Indonesia melalui program Anak Hebat Anak Indonesia (AHAI) kembali mengajak anak-anak untuk mengisi waktu luang menuju berbuka puasa dengan kegiatan positif. Ngabuburit Bareng AHAI kali ini bekerja sama dengan Sneakon Indonesia mengajak anak-anak memanfaatkan waktu ngabuburit untuk belajar mendesain sepatu.

Sneakon Indonesia yang merupakan brand sepatu lokal asal Bandung berbagi cerita tentang proses pembuatan sepatu dari hulu hingga hilir. Kak Gendis dengan ramah membawakan acara ini ddan mengajak anak-anak untuk mencoba mendesain sepatu sendiri. Acara ini berlangsung pada tanggal 14 April 2022 dan ditemani pula dengan Kak Syifa sebagai designer sepatu Sneakon.

Acara ini berlangsung dengan sangat menyenangkan dan memberi inspirasi bagi anak-anak untuk berani mencoba hal baru, terutama dalam mendesain sepatu. Ngabuburit Bareng AHAI akan terus berlangsung selama bulan Ramadhan. Nantikan Ngabuburit Bareng AHAI selanjutnya!

Souce: https://www.youtube.com/watch?v=NE0kWjvaB_Y&list=PLbF7iAYwRz8OlVPRcB-Nn26meZpmFMyei

by: Jessica Wiane Alie (@jessicawiane) – Research Intern at Youth Team SociopreneurID

The most vital and precious natural resource on the planet is water. It is the source of all life. Without water, there is no life. Water is essential not only for humans but also for the entire ecosystem. The existence of people and animals is nearly impossible without enough water. Water is the second most vital natural resource for any living being after fresh air.

For a variety of reasons, we are entirely reliant on water. Agriculture makes use of water to irrigate crops. Water is used in our homes for drinking, cooking, cleaning, bathing, and other activities. Recreational activities take place on the water. Water is utilised in industries as a coolant, solvent, and other production processes. Water is used to create hydroelectric power. Navigation and cargo transportation is also done on the water. This demonstrates how water is the most critical component of life and that every drop is necessary for survival. As a result, water conservation is essential to the survival of life on our planet.

Whether a bit worm, a plant, or a fully grown tree, every living species on our planet requires water to survive, water is essential for animals and plants to exist. Water covers over 71 per cent of the Earth’s surface. Unfortunately, freshwater makes up just 3% of the available water. Frozen glaciers and ice caps hold around two-thirds of the world’s freshwater. The remainder of the modest amount is known as groundwater and surface water.

Water conservation has many functions, including drinking, bathing, agriculture, irrigation, hospitality, manufacturing, and other fundamental water uses. In the human body, water aids blood circulation and enhances metabolism. Saliva secretion and oxygen transport to our cells are both administered by water. Water is also home to the whole aquatic environment. It is a haven for all marine creatures. Not only is that, after land and air, but water is also a significant mode of transportation. Some nations have plentiful water resources for their citizens and serve them, whereas others lack natural resources even for survival.

Freshwater depletion has become a hazard to human survival. Water quality and quantity, according to some scientists, are deteriorating day by day. Although about 71% of the Earth’s surface is covered in water, the quality is that we cannot use it in our daily lives for domestic reasons. Water quality is so bad in some areas that individuals are susceptible to various water-borne diseases, such as Eluru, caused by polluted water.

To help save nature, we can start with our most minor action, holding water. We can do it in several ways, such as taking shorter showers, not letting the faucet run when you don’t use it, regularly checking the leaks, and using a laundry washer only for full loads. These actions may sound easy, but these are 100% creating a massive impact. We may not realise it now, but we are directly contributing to our activities to prevent global warming.

As a youth, we have voices to express our opinions. We can use this opportunity to voice out what we can do to make a more significant impact. Global warming is not something that we can joke about. Our lives depend on the environment on this earth, and we cannot live a second without it. The oxygen that we breathe comes from this earth and the meats that we eat come from the living things that depend on their lives. To save our lives and protect our souls, we must let our hearts be opened and see what we can do to protect our source of life. As #EarthVengerHero, we need to make ourselves a leader in creating a more sustainable effect on the environment before asking others to follow us. These are eye-opening examples that must be taken seriously to improve living circumstances for ourselves and future generations.

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Hari ketiga Empathy Kota Solok 2022

Halo, sahabat SID! Masih ingat rangkaian kegiatan Empathy Project 2022 di Kota Solok? Salah satu rangkaian acaranya, ialah Youth Entrepreneurship Program (YEP) di mana acaranya berfokus pada sector UMKM dan pariwisata. Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari dua malam. Kegiatan YEP ini bisa terlaksana karena adanya kolaborasi antara Sociopreneur ID, Pemerintah Kota Solok, dan Elex Media Komputindo. YEP ini merupakan boothcamp yang mengajak pemuda-pemudi di Kota Solok untuk memahami kondisi sektor UMKM serta sektor unggulan lain dengan turun langsung ke lapangan.

Dari seluruh rangkaian seleksi peserta program YEP Kota Solok tahun ini, SID berhasil menjaring sebanyak 12 orang peserta terpilih. Seluruh peserta YEP mendatangi UMKM dengan empat sektor yang berbeda-beda, di antaranya:

  1. Batik Tarancak – Sektor UMKM pembuatan batik khas Kota Solok.
  2. Uberr – Sektor UMKM penjualan makanan khas Kota Solok yang salah satu unggulannya adalah Karang Kaliang.
  3. Randang Bundo – Sektor UMKM pembuatan rendang.
  4. Rajutan Bunga Padi – Sektor UMKM penjualan hasil rajutan yang dibuat oleh perempuan-perempuan di Kota Solok.

Peserta YEP juga mendapat bekal design thinking dimulai dari bagaimana menumbuhkan empati, terjun ke lapangan, lalu mengidentifikasi tantangan-tantangan yang ada di sektor UMKM Kota Solok. Setelah itu, peserta YEP juga diarahkan untuk mencari ide serta solusi atau jalan keluar guna menghadapi seluruh tantangan yang mereka temukan di lapangan. Pada tahap presentasi hasil pengamatan lapangan, dari empat kelompok peserta YEP yang terbentuk, kelompok sektor UMKM Batik Tarancak yang menjadi unggulan.

Selain mengenalkan peserta pada sektor UMKM yang ada di Kota Solok, dari program YEP ini diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan inovasi di dalam diri pemuda-pemudi Kota Solok agar dapat meningkatkan perekonomian lokal dan menjadi daya tarik pariwisata di Kota Solok. Selain itu, program YEP Kota Solok ini juga diharapkan dapat membantu para peserta dalam mengembangkan pola pikir yang sudah mereka dapatkan untuk jangka waktu yang panjang dan dalam ruang yang tak terbatas.

Menarik, bukan? Selain kegiatan YEP ini, masih ada rangkaian YEP yang tak kalah seru dan bermanfaat. Apa saja? Terus simak update-an SID, ya!

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Pada Senin, 21 Maret 2022 Sociopreneur Indonesia melakukan pengarahan secara offline untuk para fasilitator Anak Hebat Anak Indonesia (AHAI) yang bertempat di Gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok. Pengarahan ini bertujuan agar seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan AHAI dapat bersama-sama mengenalkan pendidikan entrepreneurship pada anak-anak kelas 4-6 SD melalui permainan-permainan yang dapat mengasah kreativitas mereka.


Pengarahan ini juga ditujukan agar seluruh pihak yang terlibat terutama guru dapat mengetahui cara merancang dan melaksanakan aktivitas-aktivitas edukatif yang menyenangkan bagi anak. AHAI sejatinya menyiapkan future society dengan mengasah mindset dan entrepreneurial skill peserta AHAI 2022. Selain itu, di hari yang sama juga dilaksanakan kegiatan Ramah Tamah Pemerintah Kota Solok dengan Tim Sociopreneur Indonesia dalam rangka kegiatan Empathy Project Kota Solok 2022 yang turut dihadiri oleh Wali Kota Solok, H. Zul Elfian Umar. Acara berlangsung dengan baik.

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Pada Selasa, 22 Maret 2022 telah dilaksanakan dua rangkaian program Empathy Project Kota Solok 2022, yaitu Anak Hebat Anak Indonesia (AHAI) dan Youth Entrepreneurship Program (YEP).

AHAI merupakan kegiatan bermain sambil belajar dan tahun ini diikuti oleh 500 anak SD di Kota Solok yang memiliki tema “Berkreasi dengan Barang di Sekitarku” dan bertujuan untuk mengasah kreativitas serta inovasi anak melalui pengembangan keterampilan. AHAI 2022 melibatkan 147 orang fasilitator yang dilaksanakan secara hybrid di Gedung Kubuang 13, Kota Solok, dengan menghadirkan 200 anak secara luring & 300 anak secara daring melalui Zoom Virtual Meeting.

Perkembangan PhISeS (keterampilan fisik, intelektual, sosial-emosional, dan spiritual) adalah fokus utama dari acara ini. Anak-anak yang hadir dalam program AHAI sangat bersemangat dan antusias selama mengikuti setiap permainan yang dihadirkan. Dalam program AHAI ini, mereka juga didorong untuk berani bermimpi, berani mencoba, dan tidak takut pada kegagalan.

Setelah kegiatan AHAI selesai dilaksanakan, rangkaian kegiatan Empathy Project Kota Solok 2022 dilanjutkan dengan kegiatan Youth Entrepreneurship Program (YEP). YEP merupakan bootcamp yang bertujuan untuk menyiapkan future society agar memiliki mindset dan kemampuan entrepreneurship, sehingga dapat berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi. Program YEP ini melibatkan multistakeholder dalam penyiapan generasi muda dengan mengambil peran dalam aksi kolaboratif.

Pada hari pertama dilaksanakannya kegiatan YEP ini, peserta YEP yang hadir mendapatkan pembekalan mengenai “Design Thinking” yang disampaikan langsung oleh Bapak Donni Hadiwaluyo (Subject-matter Expert on Psychology). YEP berlangsung dengan sangat baik dan dilanjutkan ke hari ke-2 yang akan melibatkan peserta untuk mengunjungi UMKM Kota Solok.

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Kata mereka, “perempuan adalah kontributor sampah bagi bumi”.

Stigma terkait perempuan sebagai penyumbang sampah terbesar di bumi sudah umum terdengar di manapun, tak jarang stigma ini membuat orang-orang menilai negatif seorang perempuan. Stigma yang ada di tengah masyarakat terbagi menjadi dua hal, yakni stigma terkait menstruasi dan sampah yang dihasilkan ketika perempuan tengah menstruasi. Di Jambi, misalnya, perempuan akan langsung membuang sampah pembalut sekali pakainya ke sungai – tanpa diolah terlebih dahulu – karena takut dan malu apabila kedapatan oleh masyarakat sedang menstruasi. Menstruasi merupakan hal yang tabu dan dianggap sebagai kejadian yang negatif dalam diri perempuan oleh masyarakat setempat. Selain itu, stigma itu muncul karena pembalut yang digunakan perempuan ketika menstruasi ternyata menumpuk di tempat pembuangan akhir. Bahannya yang memiliki unsur dari plastik sulit terturai di alam.

Pembalut sekali pakai yang banyak dipakai masyarakat terbuat dari plastik, kapas, dan benang. Sehingga jika penggunaannya terlalu lama, dapat menumbulkan iritasi dan penyakit lainnya. Setiap perempuan ketika menstruasi sebaiknya mengganti pembalut setiap empat jam sekali. Bila satu perempuan mengalami fase tersebut dalam 7 hari, akan menghasilkan tumpukan sampah pembalut. Belum lagi, siklus tersebut terjadi 28 hari sekali. Tak heran, banyak orang yang memiliki stigma yang telah disebutkan di atas.

Namun, bukan keinginan perempuan untuk menghasilkan banyak sampah, khususnya pembalut bekas pakai. Seperti dalam diskusi bersama Mbak Ani selaku founder Biyung Indonesia yang menjadi narasumber Instagram Live bersama Sociopreneur Indonesia pada tanggal 11 Maret 2022, beliau menjelaskan bahwa perempuan memiliki kondisi ‘terpaksa’. Terpaksa menggunakan pembalut sekali pakai dan akhirnya menjadi tumpukan sampah. Mereka tidak punya pilihan lain karena memang masih kurangnya edukasi tentang alternatif lain selain pembalut sekali pakai.

Di tengah kondisi tersebut, Biyung mengembangkan usaha membuat pembalut kain sebagai upaya mengampanyekan gerakan menjaga lingkungan. Pembalut sekali pakai memiliki efek samping, seperti gatal hingga iritasi. Dengan berpindah pada pembalut kain, selain ikut berkontribusi menjaga lingkungan, perempuan juga bisa menjaga kesehatannya. Belum lagi, dengan menggunakan pembalut kain, perempuan bisa menghemat pengeluaran yang bisa dialihkan untuk kebutuhan lainnya.

Pembalut yang dijual oleh Biyung Indonesia pun memiliki nilai sosial. Selain pembalut kain yang dibuat langsung oleh perempuan, bungkusnya yang berbahan bambu pun merupakan hasil karya kelompok perempuan Desa Wadas, Provinsi Jawa Tengah. Yang berarti bisa sekaligus mendukung para perempuan untuk senantiasa terus produktif.

Selain hal tersebut, sebagian dari hasil penjualan pembalut kain ini dikumpulkan untuk pengadaan pembalut kain bagi kelompok perempuan yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk membelinya. Sehingga dari pendapatan tersebut, Biyung Indonesia mampu menjangkau lebih banyak lagi perempuan untuk ikut menjaga alam dengan memakai pembalut kain. Melalui gerakan ini, Biyung Indonesia percaya bahwa stigma perempuan menjadi penyumbang sampah terbesar bisa terkikis dengan kesadaran setiap perempuan yang turut menjaga alam.

Mbak Ani berpesan, “sudah saatnya perempuan punya pilihan yang baik untuk dirinya sendiri maupun untuk alam. Hal ini dimulai dari kesadaran dan kemauan diri sendiri untuk memilih pembalut kain yang tidak sekali pakai”. Pesan baik ini dapat kita contoh untuk mendukung kelestarian alam jangka panjang. Gerakan pembalut kain ini tentu sejalan dengan misi Sociopreneur Indonesia dalam menjaga bumi untuk keberlangsungan hidup manusia yang lebih baik.

Sociopreneur Indonesia dengan senang hati menyambut Mbak Ani dan semua pekerja yang terlibat dalam pembuatan pembalut kain sebagai Earthvenger Heroes. Sociopreneur Indonesia yakin bahwa gerakan pembalut kain ini akan memiliki dampak jangka panjang bagi kehidupan manusia kelak dan kelestarian alam. Tentunya, kita semua juga bisa menjadi Earthvenger Hero dengan versi kita masing-masing. Lantas, apa aksi yang kamu miliki untuk menjaga bumi ini? Bagikan aksimu bersama kami dan jadilah Earthvenger Hero dengan mengikuti tahapan sederhana berikut ini:

  1. Upload foto dan/atau video aksi jaga lingkungan yang kamu lakukan untuk lingkungan sekitarmu;
  2. Sertakan cerita pada caption tentang penjelasan aksi jaga lingkungan yang kamu lakukan dan mengapa menurutmu aksi ini penting untuk dilakukan;
  3. Berikan tagar #IAmAnEarthvenger dan #EmpathyProject2022 dalam posting-an mu!;
  4. Tandai Instagram dan/atau Facebook @sociopreneurid dan lima orang temanmu. Jangan mengunci akun media sosialmu, ya, agar kami dapat melihat dan me-repost cerita aksimu!

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Kata orang, “ketika kita menanam padi, rumput mungkin ikut tumbuh. Namun, ketika kita menanam rumput, tidak mungkin padi ikut tumbuh.” Maksudnya, ketika kita menanam kebaikan, boleh jadi ada hal buruk yang mengiringi. Namun, ketika kita melakukan keburukan, tidak mungkin kebaikan akan muncul. Maka dari itu, sedari kecil, penting sekali mengenalkan kebaikan-kebaikan sederhana agar bisa menjadi kebiasaan ketika dewasa kelak. Melalui hal-hal kecil saja, kebaikan bisa dilakukan dan dibiasakan. Komunitas Anak Kampung Madur merupakan gambaran kecil bahwa kebaikan bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Bahkan, oleh anak-anak yang masih menikmati masa bermainnya.

Komunitas Anak Kampung Madur terletak di daerah Ciparay, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya yang jauh dari perkotaan membuat pembelajaran yang dilakukan anak-anak sekolah kurang terakses teknologi. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan proses belajar antara anak-anak dari Kampung Madur dan anak-anak yang bersekolah di perkotaan. Namun, ketimpangan tersebut tidak membuat mereka untuk berhenti mengeksplorasi hal-hal baru yang positif.

Maka dari itu, Komunitas Anak Kampung Madur mencoba menjembatani ketimpangan tersebut agar anak-anak di sana bisa memiliki pengetahuan yang sama dengan anak-anak dari perkotaan. Salah satunya adalah dengan mengikuti kampanye 7 Days of Kindness Challenge, mereka dilibatkan untuk melakukan kebaikan secara konsisten selama 7 hari berturut-turut. Banyak cerita lucu dan menarik dari anak-anak kampung Madur yang umumnya masih berada di kelas 1-4 SD selama menjalani kampanye ini.

Yang pertama, ada Adel dan Fadillah. Walau bertubuh mungil, mereka tetap semangat membantu sang bunda dalam memandikan sang adik, mengepel lantai rumah, merapikan rak piring, memasak, hingga makan sendiri tanpa disuapi. Setiap harinya selama 7 hari tersebut, mereka melakukan kegiatan kebaikan yang berbeda-beda. Walau begitu, aktivitas mereka tetap berada dalam bimbingan orang tua.

Ada juga Angga. Sebagai anak laki-laki, Angga giat melakukan pekerjaan rumah, seperti mengelap jendela, mengepel lantai, mencuci piring, memberi makan ikan, memberi makan ternak, mengajak bermain sang adik, dan menyapu lantai rumah. Di sela kegiatan sekolah dan aktivitas bermainnya, Angga tetap menyempatkan waktu untuk membantu orang tuanya dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Ada lagi yang sama menariknya dengan mereka berdua, yakni Hafiz, Qya, serta Minsya dan Azhar. Hafiz misalnya, melakukan 7 Days of Kindness Challenge dengan membantu ibunya menyapu rumah, memberi makan burung, menggoreng telur, membersihkan kamar, belajar dengan rajin, berdoa, serta memakai sepatu sendiri. Aksi serupa juga dilakukan oleh Minsya dan Azhar. Keduanya membantu orang tua membersihkan rumah, membantu orang lain, mengajak adik bermain, mencuci piring, mengenakan pakaian sendiri, serta membereskan mainan. Sedangkan, Qya melakukan aksi kebaikan dengan membaca buku, merawat tanaman, membantu ibu memasak, merawat hewan peliharaan, mencuci sepatu, membereskan rumah, serta membersihkan kamar.

Hal-hal baik yang dilakukan oleh Adel, Fadillah, Angga, Hafiz, Qya, Minsya, dan Azhar adalah contoh nyata bahwa kebaikan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Aktivitas yang dilakukan terdengar biasa saja dan sering dilakukan oleh banyak orang. Namun, kita lupa bahwa hal tersebut tetaplah “kebaikan”. Selain melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, sudah seharusnya mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan juga menjadi bagian dalam hidup kita. 7 Days of Kindness Challenge yang sejatinya merupakan kampanye untuk meningkatkan awareness dan mengajak lebih banyak orang untuk menjaga lingkungan, baik alam maupun kehidupan sosial.

Melalui 7 Days of Kindness Challenge, setiap partisipan akan membuat satu kebaikan dalam satu hari dan membagikannya di media sosial. Kebaikan yang berbeda dilakukan setiap hari selama 7 hari lamanya. Dengan membagikannya di media sosial, harapannya akan lebih banyak orang yang terlibat dengan aksi serupa. Jika dilakukan secara konsisten dan dalam jangka waktu yang panjang, SociopreneurID percaya bahwa kita bisa membangun kehidupan yang lebih baik.

Di tahun ini, SociopreneurID mengangkat tema Environmental Sustainability melalui kampanye 7 Days of Kindness Challenge. Environmental Sustainability sejatinya memfokuskan aksi pada tiga hal utama, yakni mencegah, memperbaiki, dan melindungi lingkungan. SociopreneurID percaya bahwa di tahun ini akan ada lebih dari 1000 aksi kebaikan, impresi, dan partisipasi dalam aksijaga lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik, apakah kamu salah satunya?

oleh: Donia Helena Samosir (@doniahelena) dan Rani Fatmawati (@ranifatmawati2) – Content Writer at Youth Team SociopreneurID

Jagat maya, terutama Twitter diviralkan oleh seorang perempuan yang merasa kesal karena pesanan makanannya ditambahkan sendok plastik. Padahal, ia telah berpesan pada sang pengantar makanan dan pemilik restoran untuk tidak menambahkannya. Banyak yang mendukung cuitan perempuan tersebut dan ada pula yang berkomentar negatif karena dinilai terlalu berlebihan. Namun, apakah sebahaya itu menggunakan plastik? Apa pengaruhnya bila terus menggunakan alat berbahan plastik?

Dari cuitan tersebut, kita bisa mengetahui bahwa hari ini masyarakat sudah mulai menyadari akan pentingnya pengurangan plastik. Namun, ada sebagian masyarakat yang masih sering menggunakan alat berbahan plastik, contohnya dalam menggunakan alat makan atau kantong plastik. Padahal, sampah-sampah plastik membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dilenyapkan.

Bahan yang terkandung dalam plastik pun tidak baik untuk kesehatan. Menurut banyak sumber, bila sampah plastik dibakar akan menghasilkan asap beracun. Bila asap tersebut dihirup akan memicu banyak penyakit, seperti kanker, gangguan sistem saraf, pembengkakan hati, dan lain sebagainya. Namun, bila sampah plastik tersebut ditumpuk, akan menyumbat saluran air maupun mengendap di tanah di mana akan menyulitkan penyerapan air ketika hujan. Bila itu terus terjadi, maka akan berpotensi banjir. Jika situasi tersebut dibiarkan, dampaknya akan semakan parah. Apalagi penggunaan plastik sudah semakin sering digunakan di banyak sektor.

Ternyata, pengaruh penggunaan plastik bisa meluas pada manusia maupun lingkungan. Maka dari itu, perlu kesadaran dari setiap individu untuk bisa menggunakan plastik secara cermat karena plastik memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Namun, dengan penggunaan yang bijaksana, kita bisa mengurangi dampak besar tersebut. Untuk menyelamatkan lingkungan, bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan oleh setiap individu, seperti:

  1. Memakai Barang-barang yang Reusable. Barang-barang yang reusable merupakan langkah efektif untuk mengurangi sampah plastik di alam. Tindakan ini tentu dapat kita contoh dari Yudi Riski (@riski.yudi di Instagram), salah seorang Earthvenger Hero yang mengurangi penggunaan botol plastik dengan cara membawa botol minum kemana pun Ia pergi. Ia menggaungkan kampanye ini bersama SociopreneurID untuk mengajak lebih banyak orang memakai barang yang tidak sekali pakai.
  2. Mendaur Ulang Sampah Plastik. Makanan, minuman, maupun barang-barang yang kemasannya berbahan dasar plastik tentu juga akan merusak lingkungan. Untuk mengantisipasinya, kita bisa mulai dengan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang-barang yang bermanfaat seperti kerajinan tangan maupun furniture yang bermanfaat. Mencontoh pesan baik yang dibagikan oleh salah satu Earthvenger Hero – Dewa Rahmana (@dewa_rahmana di Instagram), kita bisa mendaur ulang sampah plastik menjadi kerajinan tangan yang berguna. Hal ini tentu akan sangat membantu mengurangi sampah plastik.
  3. Melakukan Hal-hal Kecil dan Mengajak Orang Sekitar untuk Ikut Menjaga Lingkungan. Selain menggunakan barang reusable dan mendaur ulang sampah plastik, mengajak orang sekitar untuk menjaga lingkungan juga merupakan hal yang berarti. Melakukan kampanye digital dan menyebarkan pesan untuk turut menyayangi bumi juga sangat dibutuhkan, seperti yang dilakukan oleh Dwi Susilawati (@dwisusilawati.kurniairiani di Instagram) dan Uchti Roshyana (@uchti_bndr di Instagram) yang menjadi Earthvenger Heroes dan mengajak lebih banyak orang untuk terlibat dalam aksi mencintai lingkungan.

Dari upaya-upaya mengurangi sampah plastik tersebut, berarti setiap orang dapat berupaya untuk menjaga lingkungan. Dalam setiap tindakan menjaga lingkungan, berarti menjadikan setiap orang pahlawan. SociopreneurID percaya bahwa setiap orang bisa menjadi pahlawan lingkungan dari hal-hal kecil. Melalui gerakan Earthvenger, kita bisa turut menjaga bumi dan membagikannya pada orang sekitar untuk melibatkan lebih banyak orang menjadi Earthvenger Hero!