
Ada pepatah yang mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik.” Kata guru dalam pepatah tersebut dimaknai sebagai sebagai sesuatu yang memberikan kita wawasan, pemahaman yang lebih mendalam, yang kita peroleh sendiri. Jika demikian, bagaimana dengan makna guru secara profesi sebagai sosok yang mendampingi, memberikan ilmu pengetahuan, dan membuka cakrawala berpikir anak didiknya?
Memeringati Hari Guru Internasional pada tanggal 5 Oktober lalu, PBB mengangkat tema “Teachers at the heart of education recovery” yang secara spesifik menggaris bawahi peran utama dari guru untuk mendorong pemulihan sektor edukasi di tengah situasi dunia yang sedang berbenah. Selama kurang lebih dua tahun ini, guru telah mengalami naik-turun perjuangan dalam memberikan pembelajaran. Sebagai mitra dari institusi pendidikan, kami turut melihat realita yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tantangan demi tantangan dilalui, mulai dari hal teknis, non-teknis, interaksi dalam kelas, di luar kelas, materi, dan penilaian. Namun, tak sedikit pula peluang yang kami rasa dapat diimplementasikan secara sederhana oleh setiap guru dan tentunya mampu mendorong anak untuk mendapatkan pengalaman dari hasil eksplorasinya sendiri.
Seperti apa contohnya?
Pengalaman muncul melalui eksplorasi. Ketika siswa diajak untuk mengeksplorasi, mereka tidak hanya sekadar mengerjakan tugas saja, tetapi mencoba hal baru, mengamati sekitar, mencari tahu lebih lanjut, aktivitas seperti ini akan memberikan wawasan baru bagi mereka. Tentunya juga dapat membangun empati mereka, sehingga pengalaman yang mereka dapatkan kelak menjadi referensi untuk memberikan sesuatu yang berdampak positif bagi sekitarnya.
Berbicara tentang empati, tahun lalu dalam Social Entrepreneurship Sharing Session (Three-S) Dialogue Empathy Series, kami masih ingat sebuah ilmu yang dibagikan oleh subject-matter expert SociopeneurID, Donni Hadi Waluyo. Beliau menjelaskan terdapat dua cara berempati, yang pertama secara kognitif, dan yang kedua secara afektif. Empati kognitif berarti mengetahui dan memahami apa yang dialami orang lain, sedangkan Empati Afektif mengetahui, memahami, dan mampu merasakan secara mendalam apa yang dialami oleh orang lain.
Jika biasanya di sekolah, siswa banyak diberikan pemahaman tanpa merasakan realitanya secara langsung, maka di sinilah peran tenaga ddik untuk menumbuhkan empati dari para siswanya. Kilas balik perjalanan kami di tahun 2016, saat sebagian besar dari tim SociopreneurID masih menjadi mahasiswa dan anggota aktif klub Technopreneurship for Youth (TfY). Saat itu, kami diberi tugas untuk bermain peran menjadi pedagang sayur, buah segar, atau mainan anak selama dua hari berturut-turut. Mata kuliahnya adalah Social Entrepreneurship.
Bagi sebagian besar teman-teman yang tidak familiar dengan situasi pasar raya atau pasar induk, hal ini merupakan tantangan yang berat. Terlebih lagi, kami harus melakoni peran layaknya benar-benar seperti seorang pedagang, kami dilarang mengaku bahwa kami adalah mahasiswa yang sedang bertugas dan berperawakan seolah kami bukanlah orang yang asing dengan dunia pasar.
Tugas ini dilakukan secara berpasangan dengan modal Rp27.000 untuk dua hari. Tidak mudah rasanya harus bangun pukul setengah tiga pagi untuk membeli sayur paling segar dari pemasok utama di pasar induk. Jika tidak ingin menghabiskan uang terlalu banyak di hari pertama, ya memang harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah. Setelah sayur atau barang dagangan lain didapatkan, saatnya mencari lokasi berjualan. Ada yang menjual di pasar induk langsung, ada yang pindah ke pasar raya, lokasinya berbeda-beda.
Kami juga harus mencari lapak di tengah para pedagang yang sudah senior walau mereka hanya melapak di pinggir jalan atau di pinggir rel kereta api. Kami yang terhitung sebagai “pemain baru” harus rela mendapat lapak di ujung-ujung, atau di lokasi yang tidak cukup strategis untuk dilirik pembeli. Bersyukur jika pembeli sedang ramai, memborong sayur atau buah atau dagangan lain yang kami miliki saat itu, namun, ketika sedang sepi, kami bisa berjualan hingga matahari terbit tinggi. Tantangan selanjutnya? Sayurnya menjadi layu.
Hari kedua tak kalah beratnya, jika di hari pertama kami belum untung, maka kami harus mengakali cara agar dapat memasok barang dengan modal seadanya. Bukan mudah bersaing dengan pembeli lain yang rata-rata sudah menjadi langganan, tentu saja mereka yang didahulukan. Kami masih ingat, saat itu, ada satu kelompok yang mendapatkan untung penjualan sebesar seribu rupiah dari dua hari berjualan. Rasanya sudah seperti pencapaian. Namun naas, akibat salah menaruh uang, tim tersebut harus kehilangan 500 rupiah, 50% dari keuntungan yang didapat selama dua hari. Kami yang mendengar pun meringis, menggigit jari mendengarnya. Ternyata uang lima ratus perak itu begitu berharga.
Pelajaran ini mengajarkan kami praktik langsung dari empati, tak hanya mengetahui bagaimana rasanya, namun saling bisa berbagi apa yang dirasakan. Ada juga kelompok yang harus berhadapan dengan Satpol PP karena berjualan secara illegal, ada yang dikejar-kejar pelapak lain, bermacam-macam pengalamannya.
Tapi pengalaman ini tidak bisa kami lupakan, bahkan hingga hari ini. Lima tahun sudah berlalu, sedikit banyaknya, ada hal yang dapat kami implementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan pembelajaran positif tersebut yang menjadi dasar kami untuk terus melakukan improvement dalam program-program edukasi kami.
Sekiranya pengalaman ini menjadi relevan untuk diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan – atau bahkan, seumur hidup! “Guru” memang bisa menjelma menjadi bentuk apa saja, namun bukankah sebuah kehormatan bagi profesi guru, dosen, mentor, atau apapun sebutan profesinya sebagai kunci utama untuk menumbuhkan, mendampingi, dan memandu langkah demi langkah siswa yang hendak menjajaki dunia, memahami realita kehidupan? Hingga kelak, mereka akan meneruskan nilai-nilai luhur dan bermanfaat dari guru-guru, dosen, mentor mereka terdahulu. Hari Guru Internasional hendaknya tidak hanya sebatas seremonial belaka, namun menjadi titik strategis terciptanya perubahan pola didik yang merangkul dan memanusiakan manusia hari ini, esok, dan seterusnya. Selamat Hari Guru Internasional 2021!