Belajar Berempati: “Ternyata, peduli aja belum cukup!”

Oleh: Nurul Qamari

Dalam Empathy Project 2021: #StoryofWellness lalu, saya terlibat sebagai storyline writer untuk program Expert dan Youth Volunteering. Ketika di awal mengikuti program ini, kami dibekali nilai-nilai kerelawanan, bahwa sebenarnya kita terlahir dengan kapabilitas untuk menjadi relawan. Kita bisa melakukan hal-hal sederhana untuk orang lain, yang bisa jadi dampaknya besar untuk orang tersebut. Saat bergabung dengan kelompok, saya dan teman-teman memulai langkah demi langkah yang harus kami penuhi selama periode program, sekilas seakan nilai-nilai tersebut berlaku sebagai reminder saja, sampai saya mengalaminya sendiri.

Ketika periode program kerelawanan berlangsung, saya harus menjaga orang tua saya yang masuk rumah sakit. Pada suatu hari, saya diminta untuk membeli makan siang di luar rumah sakit. Saya pun mengiyakan, berjalan keluar rumah sakit, dan menemukan sebuah warung makan tak jauh dari sana. Rumah makan tersebut cukup kecil, sehingga jarak pandang saya kepada orang-orang sekitar cukup intens. Di sana, ada seorang ibu-ibu yang datang sebelum saya. Dalam pandangan saya, mukanya terlihat sangat murung seperti sedang mengalami permasalahan dalam hidupnya. Setelah beberapa menit saya melihat Ibu tersebut, mukanya tak kunjung berubah, masih murung dan gelisah. Saya kemudian berpikir, “Apa yang dapat saya lakukan untuk beliau?”

Saya tidak mengenal Ibu itu sama sekali, sehingga ada keraguan untuk menyapa atau menghampiri beliau. Ketakutan, nanti dikita SKSD (Sok Kenal, Sok Dekat). Tapi, insting saya saat itu memilih jalan tengah yang paling sederhana dan paling memungkinkan untuk dilakukan setiap orang: tersenyum kepadanya. Agar dapat memberikan senyuman, Ibu itu harus melihat saya terlebih dahulu, sehingga saya putuskan untuk menatap Ibu itu. Saya tatap, lalu saya hitung dalam hati. Sedetik… Sepuluh detik… tiga puluh detik, saya menunggu hingga Ibu tersebut menolehkan pandangannya kepada saya. Satu menit berlalu, kami pun akhirnya beradu pandang. Langsung saja saya tersenyum, senyuman paling tulus yang saya bisa saya perlihatkan kepada Ibu tersebut. Satu detik, dua detik.. Reaksinya biasa saja. Ternyata di detik ketiga, Ibu tersebut ikut tersenyum. Entah hanya membalas senyuman orang asing, atau memang karena cara saya berhasil, beliau pun akhirnya ikut tersenyum.

Dari pengalaman inilah saya percaya kekuatan dari hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain. Jika diingat-ingat lagi, tidak ada yang memaksa saya untuk melakukan hal tersebut. Bahkan sebenarnya, jika Ibu itu saya biarkan saja, tak ada dampak apa-apa juga yang akan terjadi. Walau saya tidak dapat menolong dengan cara lain, barangkali dengan tersenyum kepada beliau, saya dapat membuka sesuatu dalam pikirannya bahwa masih ada orang lain yang peduli kepadanya tanpa harus mengenalnya secara dekat. Saya juga berharap senyuman tersebut bisa meringankan apapun yang menjadi beban Ibu tersebut di hari itu.

Pengalaman ini membuat saya menjadi semakin tertarik untuk mendalami makna kerelawanan dan empati. Saya belajar bahwa menjadi peduli saja terkadang belum cukup jika belum didorong dengan sebuah aksi. Sesederhana dan semampunya kita saja. Saya mulai belajar memerhatikan orang lain di luar dari diri saya sendiri. Berempati dan mencoba melihat hal apa yang dapat saya lakukan dalam kemampuan saya.

Ketika saya kembali pada tanggung jawab dan peran saya sebagai storyline writer di kelompok, saya semakin semangat untuk mengembangkan diri saya. Secara otodidak, saya belajar membuat, menyunting, dan bekerja sama dengan tim saya agar nantinya yang kami hasilkan layak untuk menjadi sebuah konten pembelajaran. Semoga ketika orang lain bisa melihat karya kami, mereka dapat memahami apa yang ingin kami sampaikan, memetik pembelajaran darinya, dan mendapatkan insight baru.

Kami bekerja sama dalam tim secara virtual. Membangun empati satu sama lain hanya sebatas interaksi melalui layar gawai dan laptop. Dari sisi ini, saya juga melihat banyak peluang untuk berbuat positif yang dapat dilakukan dalam dunia maya. Terutama media sosial, di saat kebanyakan dari generasi kita yang insecure melihat gaya hidup atau pencapaian orang lain yang terpampang di media sosial, sebenarnya kita juga bisa menjadi penggerak untuk menyebarkan semangat-semangat positif, mengajak keterlibatan lebih banyak anak muda lagi untuk memahami isu yang ada di sekitar mereka dan mengambil aksi.  

Spread the Kindness