Expert dan Youth Volunteering 2021 batch 1: Ruang Belajar dan Fleksibilitas

Selama berjalan kurang lebih tiga bulan terakhir, kami mengenal dan berinteraksi dengan teman-teman baru. Mereka adalah teman-teman kami yang menjadi relawan muda (Youth Volunteer) di Empathy Project Virtual 2021, batch 1. Mereka adalah teman-teman yang walau hanya bisa kami lihat lewat layer gawai dan komputer, yang hanya bisa kami jangkau lewat aplikasi chat, namun seperti sudah kami kenal dengan baik dan seakan sudah pernah bertemu sebelumnya.

Ketika di awal kami memindahkan aktivitas kerelawanan menjadi daring, sempat terbersit sedikit keraguan akan komitmen. Namun, tahun lalu, kami dibuat terkesima dengan 51+ video edukasi yang dihasilkan oleh teman-teman relawan yang memproduksi seluruhnya dari tempat masing-masing. Dari Sabang sampai Merauke, bahkan ada yang dari Malaysia, Spanyol, Turki, dan beberapa negara lainnya.

Tentu saja pengalaman ini menumbuhkan rasa optimis untuk kembali bisa menemui hal yang sama pada batch ini. Di program Expert and Youth Volunteering 2021 batch 1 ini, 88 relawan profesional dan relawan muda yang datang dari seluruh Indonesia. Walau jumlahnya tak sebanyak pelaksanaan tahun sebelumnya, sebagai PIC masing-masing kelompok, kami tetap menyaksikan keceriaan dan usaha yang luar biasa dari teman-teman relawan. Kami terkagum-kagum dengan upaya masing-masing tim untuk tetap bisa bertukar pikiran, tetap belajar satu sama lain, menjaga interaksi dan kerukunan grup, bahkan beberapa ada yang suka melontarkan lelucon-lelucon lucu agar suasana grup tetap hidup.

Kami memiliki grup besar, di mana seluruh relawan bergabung dan grup tersebut menjadi portal informasi dan tempat bertukar karya masing-masing kelompok. Ada juga grup-grup kecil yang dibentuk oleh masing-masing kelompok untuk berkoordinasi membuat video edukasi. Biasanya, para PIC dari SociopreneurID bergabung ke dalam grup-grup kelompok untuk memantau dan memberikan arahan kepada teman-teman relawan sepanjang prosesnya.

Salah satu dari teman-teman relawan yang sering muncul untuk mempromosikan karya timnya yang sudah tayang di media sosial adalah Dewi. Dalam kelompoknya, ia berlaku sebagai social media campaigner dengan akun Instagram kelompoknya yang bernama @self_talk.id. Kami sempat berbincang dengan Dewi untuk menggali lebih dalam aktivitas dan perubahan yang ia alami selama mengikuti kegiatan kerelawanan ini.

Dewi yang gemar menyelipkan tawa di sela-sela pembicaraan, menceritakan tentang keterbukaan ruang belajar yang ia rasakan. “Di program ini aku seakan dikasih ruang belajar yang bener-bener untuk belajar gitu. Jadi, kami langsung terjun (mencoba hal-hal baru). Nah, kalau misalkan ngomongin prosesnya, pasti sih kayak nemuin kendala, karena Dewi banyak nyoba hal-hal baru di sini. Kalau mau ngomongin perubahan, jelas banget sih, ada perubahannya di diri Dewi. Sebelumnya misalkan belum pernah dan nggak kepikiran untuk bikin (misalnya) content planning, di sini harus belajar dan bisa nggak bisa harus coba bikin content planning. Ini yang maksud Dewi belajarnya tuh belajar beneran gitu.. Bukan hanya terima satu atau dua tugas terus dikerjain dan dilaporin ke ketua aja.”

“Setiap orang di tim itu bener-bener berperan di sini. Dalam satu kelompok aja, walau perannya beda-beda tapi sama-sama saling bantu. Terutama kalau udah bicarain diseminasi, gimana sih caranya biar naikin awareness orang tentang apa yang kita lakukan, gimana caranya biar orang-orang mau nih ngeliat konten kita gitu. Ya, hal ini dipikirkan oleh seluruh tim, dan terasa banget peran masing-masing dari kami.” Sambungnya.

Proses paling berkesan bagi Dewi selama pelaksanaannya adalah betapa bebasnya ruang gerak masing-masing relawan untuk berkembang dalam timnya. Seakan berjalan sambil membuat jalan, teman-teman relawan belajar sambil praktik, sambil mengonfirmasi apa yang mereka ketahui satu sama lain, dan teman-teman relawan berbagi apa yang mereka pahami sesuai dengan latar belakang dan keahlian masing-masing. Tidak ada salah dan benar dalam prosesnya, menurut Dewi, setidaknya berbekal timeline pengerjaan yang telah dibuat oleh tim, mereka mampu memenuhi target yang sudah dicapai, walau hanya dengan diskusi informal saja.

“Kalau ngomongin tim, Alhamdulillah nya itu dapet tim yang emang bisa nerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Di tim Dewi, setiap orang saling mengisi, misalnya waktu itu si A nggak bisa ngerjain X nih, terus anggota tim yang lain sharing gitu biar sama-sama belajar. Kami percaya masing-masing dari kita punya kekukrangan, itulah yang membuat kita nggak terlalu berpangku dan fokus sama peran masing-masing aja, dalam kerja sama tim pasti nggak ada yang bakal ideal hanya mengerjakan tugas dan menjalankan peran pribadinya aja, tapi bisa back up dan mengisi kekurangan teman yang lainnya juga. Kalau di tim aku, meeting formal nya sesekali, banyakan ngobrol jalan di grup, tapi kerjaan juga beres gitu…”

Pengalaman Dewi ini dapat dijelaskan secara saintifik melalui sebuah studi. Di tahun 2013, Prof. Dr. Josette Dijkhuizen mengkaji tentang Entrepreneurial Genes. Dalam kajiannya, ia menemukan bahwa setiap orang bisa menjadi seorang entrepreneur dan memiliki entrepreneurial mindset dengan menumbuhkan 12 Entrepreneurial Genes. Kata “gen” dalam hal ini tentu saja tidak berarti literal, namun traits atau karakteristik yang dapat ditumbuhkan oleh setiap individu. Dalam salah satu komponennya, terdapat Flexibility, yang menggambarkan kondisi yang Dewi dan tim hadapi. Seorang entrepreneur membutuhkan ruang fleksibilitas yang membantunya memaksimalkan pekerjaannya. Flexibility dijelaskan oleh Robles (2012) sebagai kemampuan beradaptasi, keterbukaan akan hal baru yang berujung pada lifelong learning.

“Jadi di program ini, Dewi merasa lebih fleksibel, santai, tapi dapat ilmunya dan merasakan adanya perubahan positif di diri Dewi. Banyak lagi ilmu-ilmu yang emang langsung kepakai ketika ikutan YV ini. Dan sebelumnya nggak ngebayangin bakal kayak gini sih, maksudnya bakal ada di posisi yang emang ngerjain banyak hal tapi enjoy gitu. Sebenarnya di awal masuk deg-degan banget, soalnya belum pernah jadi social media campaigner. Tapi, yaudahlah dicoba aja, bukannya pura-pura tau, aku cuma membatin yaudahlah biarin aja, berjalan sambil belajar, sambil nyari-nyari info gitu. Tapi pas udah ngerasain di kelompok kayak gini, tantangannya ketidak mampuan kita harus dikeluarkan untuk menjadi mampu gitu. Makanya jadi banyak belajar… Dan nggak hanya belajar memahami tim, tapi belajar memahami orang lain di lingkungan program juga, lucunya, walau kita bahkan nggak pernah ketemu sama sekali di dunia nyata, ya, Kak. Ini akan jadi bekal banget buat di volunteering selanjutnya atau di kegiatan lainnya di luar sana. Pokoknya seneng banget karena bisa keluar dari zona nyaman.” Tutup Dewi.

Jika dikaitkan kembali pada studi Entrepreneurial Genes, kita dapat mengidentifikasi gen-gen lain dalam cerita Dewi. Proses Dewi belajar bersama timnya juga mencakup Courage (keberanian), bahwa Dewi dan teman-temannya saling “mendorong” untuk menghadapi tantangan yang dihadapi, keluar dari zona nyaman, kemudian ada Leadership (kepemimpinan) yang dimiliki oleh setiap anggota tim yang memiliki peran dan cepat tanggap dalam menyikapi tantangan yang dihadapi bersama. Creativity (kreativitas) yang mereka kerahkan untuk dapat menyelesaikan tantangan dan kemampuan mereka untuk melalui setiap prosesnya dengan rasa senang, serta Self-reflection, yang dilakukan Dewi melalui ceritanya dengan merefleksikan apa yang sudah ia hadapi, pelajari, dan dapat ditingkatkan lagi ke depannya.

Spread the Kindness