
Memeringati World Humanitarian Day 2021, United Nations (UN) menyoroti isu perubahan iklim. Lebih lanjutnya, World Humanitarian Day tahun ini membahas lebih lanjut dampak dari perubahan iklim dan dampaknya terhadap orang-orang yang rentan di seluruh belahan dunia. Perubahan iklim sendiri menjadi salah satu bahasan dan fokus UN dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Di tahun 2019, kami mengadakan pilot project untuk sebuah kampanye digital yang mengajak keterlibatan publik untuk membangun kebiasaan positif bagi lingkungan sekitar. Kampanye tersebut kami beri nama Earthvenger. Berangkat dari tren film Avengers yang ramai menjadi perbincangan.
Tak berbeda dengan Avengers, Earthvenger juga berbicara tentang aksi heroik dari para pahlawan penyelamat bumi yang memiliki kapabilitas yang berbeda-beda. Ada yang menyelamatkan bumi dari sampah makanan, ada yang membantu mengurangi pemakaian plastic, ada yang mulai mengolah sampah rumah tangganya sendiri, menjaga kebersihan pantai, hingga upaya sederhana seperti menghemat listrik dan membawa botol minum sendiri. Yang kami percayai, setiap orang, apa pun latar belakangnya, bisa menjadi bagian dari Earthvenger.
Satu hal yang kami pelajari dari eksekusi kampanye Earthvenger: stimulus ini tidak bisa hanya dilakukan satu kali. Agar dapat menjadikannya bagian dari rutinitas, konsisten menjadi kata kunci utama, sesederhana apapun aksinya. Begitu seseorang menjalankan aksinya secara konsisten, maka kesadaran lingkungannya (environmental consciousness) sudah terbangun.
Pada kesempatan lalu, kami mengangkat cerita dari Biyung Indonesia yang mengampanyekan penggunaan pembalut kain serta mengedukasi perempuan-perempuan dari lingkungan yang rentan akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi. Tidak hanya kampanye, Biyung juga memberikan edukasi terhadap perempuan-perempuan daerah tentang urgensi dari pengurangan pembalut sekali pakai. Hanya dengan mengubah keputusan dari pembalut sekali pakai ke pembalut kain saja, resiko penumpukan sampah pembalut sudah dapat diantisipasi. Bayangkan jika seluruh pihak dapat melakukan hal yang sama di sektor-sektor lainnya.
Tantangannya saat ini adalah ketika kesadaran sudah terbentuk, apakah setiap orang sudah mampu secara konsisten menjalankannya? Terlepas dari apa pun sektornya, kami percaya bahwa konsistensi bukanlah sesuatu yang sulit. Studi menunjukkan bahwa tidak butuh waktu yang lama untuk membangun kebiasaan baru, cukup biasakan diri untuk melakukan hal yang sama selama tiga sampa tujuh hari. Setelah itu, hal tersebut akan menjelma menjadi kebiasaan baru. Tambahkan hal-hal baru setiap minggunya agar semakin banyak hal positif yang dapat dijadikan kebiasaan rutin untuk dijalankan setiap harinya.
Jadi, siapa bilang menjadi konsisten itu sulit? Yuk, bisa, yuk!