
Di dalam ilmu entrepreneurship, dikenal sebuah istilah yang bernama “effectuation.” Prinsip dari effectuation berawal dari Bird in Hand atau fokus terhadap apa dimiliki dan apa yang dapat dilakukan. Prinsip berikutnya adalah Affordable Loss yaitu perhitungan risiko yang akan diambil sesuai dengan sumber daya yang dimiliki (bird in hand). Jika nanti dalam prosesnya terjadi hal-hal diluar dari perkiraan atau perencanaan, maka berlakulah prinsip ketiga yaitu Lemonade yang berarti mampu mengubah hal-hal yang tidak diinginkan menjadi peluang (opportunity).
Tentunya agar dapat mengimplementasikannya, seorang Entrepreneur sadar bahwa ia tidak mampu bergerak sendiri. Perjalanannya akan dipenuhi oleh kejutan-kejutan dan risiko. Maka dari itu, seorang Entrepreneur akan mempertimbangkan prinsip keempat yaitu Crazy Quilt yang berarti membangun kerja sama untuk memperkecil risiko dan agar terjadi shared risk. Meskipun demikian, apapun yang terjadi, keputusan tetap di tangan seorang Entrepreneur untuk membawa arah ke mana ia akan menuju. Inilah yang dikenal dengan prinsip terakhir yaitu Pilot-in-the-Plane.
Ketika seseorang mampu memiliki prinsip dan berpikir secara effectual, maka ia telah menerapkan cara berpikir entrepreneurial. Namun, kata entrepreneurial sendiri masih sering dikaitkan dengan seseorang yang membangun usaha atau inisiatif saja. Padahal yang kami yakini, setiap orang harus mampu memiliki cara berpikir entrepreneurial agar menjadi independen dan kritis dalam mengambil langkah dalam hidup masing-masing.
Contoh sederhananya, pada generasi muda saat ini yang gampang goyah atau bahasa kerennya insecure ketika tren “Usia 25 sudah punya apa saja?” muncul beberapa waktu lalu. Ramai sekali perbincangan di media sosial tentang topik ini, mulai dari membahas keterbatasan finansial sebagai fresh graduate, tips menyicil rumah sejak dini, ajakan memulai usaha, ada yang unjuk penghasilan dan gaya hidupnya, hingga ketimpangan yang terjadi akibat pengurangan tenaga kerja pada perusahaan yang terdampak Covid-19. Ketika pembicaraan yang ramai hanya fokus pada tantangan yang dihadapi, sedikit sekali yang membahas apa yang dapat dilakukan dengan sumber daya yang dimiliki masing-masing saat ini.
Kasus ini memberikan insight kepada kita semua bahwa begitu gampangnya seseorang terpengaruh dengan standar yang diterapkan oleh orang lain. Kebanyakan dari kita malah membanding-bandingkan pencapaian diri kita dengan orang lain. Ketimbang mengontrol apa yang bisa kita kontrol, kita berfokus menghitung-hitung sesuatu yang tidak kita miliki. Alhasil, kita terbelenggu dalam pikiran kita sendiri.
Ketika Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus ini, kita juga kembali merefleksikan makna kata merdeka, setidaknya untuk diri kita sendiri. Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Masihkah kita menerapkan standar orang lain untuk pencapaian diri kita sendiri?
Salah satu cara yang dapat menjawabnya adalah mendalami kembali prinsip dari effectuation. Dalam penerapannya, effectuation berfokus kepada aksi. Saat ini, aksi yang dapat generasi muda lakukan adalah keluar dari belenggu pikiran yang menempatkan diri pada standar orang lain. Karena sesungguhnya kemerdekaan yang paling mahal harganya adalah kemerdekaan berpikir, kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan hidup kita masing-masing.