Dari Wellness Individual ke Wellness Sosial

Oleh: Donni Hadi Waluyo (donnihw@gmail.com)

Tidak bisa dipungkiri situasi saat ini adalah situasi sulit bagi banyak orang. Bukan hanya efek finansial dan biologis yang menghantam, namun banyak juga yang sudah mengalami masalah kesehatan mental. Stres, depresi, panic-attack, paranoid, menjadi istilah yang umum diucapkan sekarang.

Tulisan ini mencoba membuat kita memalingkan fokus kita. Ketimbang berusaha mengobati masalah mental, mari kita mencoba lebih berdayaguna. Mari kita berpindah dari wellness individu ke wellness sosial.

Apa ‘sih wellness itu?

Dari kamus yang disusun oleh American Psychological Association (APA, 2015), wellness didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis dari kesejahteraan fisik, mental, dan sosial (a dynamic state of physical, mental, and social well-being), yang berarti kondisi ketika manusia sehat tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan sosial. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wellness adalah hasil dari empat faktor utama yang dapat dikendalikan oleh seseorang: faktor fisik (kondisi tubuh dan kebugaran), lingkungan hidup, gaya hidup, dan manajemen perawatan kesehatan.

Konsep wellness menyatakan bahwa mempromosikan kesehatan mental dan fisik yang baik lebih penting daripada menyebarkan tentang pengobatan penyakit mental dan fisik. Wellness penting untuk meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosial, meningkatkan kemampuan mengelola stres, meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai situasi, serta mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas hidup dalam situasi sulit sekalipun. Wellness dapat dicapai dengan mengelola keseimbangan diri (fisik, mental, sosial) dalam menghadapi berbagai situasi, baik situasi positif maupun negatif (Gordon, 2021).

Social Wellness

Seperti kita sadari, saat ini kita sedang dihantam oleh dua badai besar yang oleh Founder dan Executive Chairman World Economic Forum, Klaus Schwabb (2020) sebut sebagai The Perfect Storm. Pertama, badai teknologi yang membuat segalanya berubah. Mendisrupsi segala sesuatu, dan menuntut berbagai perubahan perilaku masyarakat. Badai kedua, adalah badai pandemi Covid-19 yang juga mengubah banyak hal. Dua kondisi penuh tantangan ini bersatu dan menimbulkan persoalan besar. Intinya, sekarang semua orang sedang susah. Maka, wellness sangat dibutuhkan saat ini. Setiap orang harus mampu mengelola situasi sulit dengan cara masing-masing agar wellness individual dapat tercipta.

Di awal pandemi, saya pernah mendengar cerita dari seorang sosok yang bernama Ibu Vita. Beliau melihat banyak tetangganya mengalami kesulitan. Bu Vita punya halaman kecil di rumahnya. Ia sisihkan sedikit untuk menanam sayuran, dan membuat kolam kecil untuk ikan lele. Dalam beberapa saat, Ikan lelenya menjadi besar dan sayurannya berbuah. Ia panen dan dibagikan gratis kepada tetangganya yang kesulitan. Cerita ini bergulir, dan ternyata menular. Ini menjadi gerakan sosial di beberapa tempat. Halaman kecil mulai dimanfaatkan. Sebagian menjadi ide untuk bisnis. Tapi banyak yang menjadikannya sebagai gerakan memberi ke tetangga.

Beberapa waktu lalu, saudara saya di Jogja terkena Covid dan isolasi mandiri. Yang menarik adalah ia tidak pernah kekurangan makanan. Tetangga-tetangganya bergiliran membantu. Sampai berlimpah makanan dan juga vitamin-vitamin. Dalam waktu singkat, saudara saya pulih dari Covid. Wellness terjaga, karena ditambah faktor lingkungan yang mendukung. Saya tahu tidak semua tempat bisa begini. Tapi ini patut ditiru.

Teknik Wellness

Ada seorang tokoh besar di dunia Psikologi bernama Viktor Frankl yang menciptakan teknik logoterapi. Inti dari ajaran logoterapi adalah (a) Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna. (b) Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia. (c) Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya. (d) Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai pengalaman (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Salah satu teknik yang ia ajukan dalam logoterapi adalah melakukan derefleksi. Derefleksi adalah mengalihkan perhatian berlebih pada suatu masalah pada suatu hal lain yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluhannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala ‘fokus berlebih pada masalah’ (hyper intention) akan menghilang. Teknik ini mudah dan menarik untuk dicoba.

Bryony Gordon adalah salah satu penggagas kesehatan mental paling tepercaya di Inggris. Ia pendiri lembaga Mental Health Mates, penulis dan tokoh kesehatan mental (yang dulunya adalah penderita kesehatan mental berat). Dalam bukunya No Such Thing As Normal (Gordon, 2021), ia berbagi nasihat dan bimbingan berdasarkan pengalamannya sendiri tentang penyakit mental, yang justru telah membuatnya lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih tangguh.

Ia menyatakan hal menarik, “Apa yang saya alami di masa lalu saya, dalam kondisi gangguan mental berat saya, inilah yang sedang sebagian besar orang rasakan dalam situasi kalut ini. Jadi rupanya, saya mengalami masalah mental di masa lalu, supaya bisa memberi petunjuk kepada banyak orang di masa kini.”

Ada empat sarannya. Pertama, kembali ke basic. Perhatikan cara tidur, makan, minum, bekerja, bahkan bernapas. Saat kita memahami koneksi hal-hal basic ini dengan pikiran kita, maka kita mampu mengelola kesehatan mental. Kedua, memiliki support system, mempelajari berbagai jenis terapi, pengobatan, memilih sahabat yang baik, dan mengetahui kapan harus meminta bantuan. Ketiga, mengenali emosi. Ini mencakup menjelajahi kekuatiran, kecemasan, stres, dan pikiran yang mengganggu sehari-hari. Keempat, membangun koneksi dengan lingkungan sosial yang tepat. Ini termasuk mengenali dan mengakhiri hubungan yang toxic, membangun wellbeing dan kebahagiaan yang berasal dari menolong orang lain, serta memilih hubungan mana yang layak dipelihara dan mana yang harus dilepaskan.

***

Saya kenal seorang refugee bernama Khalilullah Mohebi dalam sebuah acara kerja sama antara SociopreneurID dan International Organization for Migration. Dalam acara itu, ia menceritakan bahwa ia punya misi untuk menolong sesama refugee lain tanpa imbalan. Tidak harus sesuatu yang besar, intinya ingin mengembalikan senyuman pada para refugee lain terutama anak-anak. Ia memutuskan untuk membuat project membantu sesama refugee di tempatnya. Apa yang ia kerjakan? Ia akan secara bertahap memasak, mencuci piring, sambil membagikan notes kutipan-kutipan motivasional. Ia lakukan tanpa pamrih, dan ia organisir beberapa temannya Mujtaba, Mehdi, Haidari, dan Ali untuk melakukan hal yang sama. Luar biasa. Sebagai seorang refugee tentu Khalil punya masalahnya sendiri, namun ia bisa mengalihkan fokus dari tantangan menjadi solusi. Ia bisa mengalihkan fokus dari dirinya ke orang lain. Ia bisa tetap aktif dan sehat dalam situasi sulit. Inilah wellness. Dalam berbagai situasi, ia tetap sehat fisik, mental, dan sosialnya. Ia tetap berfungsi sebagai manusia utuh. Ia tetap “well”. Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa kita tidak harus menunggu untuk punya kekayaan luar biasa agar bisa menyumbang 2 trilyun dan mulai menolong orang lain. Kita bisa mulai dari apa yang ada. Tanpa disadari kegiatan menolong orang lain ini, sebenarnya menimbulkan kebahagiaan yang bersumber dari diproduksinya hormon Oxytocin. Produksi Oxytosin akan menghilangkan cortisol, yaitu hormon kecemasan yang menurunkan imun. Jadi menolong orang lain bisa meningkatkan imun, ini cara ampuh untuk melawan virus, bukan?

Spread the Kindness