Cerita Kontributor: Makna Kerelawanan di Balik Gempa Bengkulu

Oleh: Irma Lisa Sridanti (irmalisa2010@gmail.com)

Gempa berkekuatan 7,3 SR pada Juni 2000 dan 8,4 SR pada September 2007 di Propinsi Bengkulu menjadi sebagian cerita indah perjalanan kerelawanan saya.


Di tahun 2000, saya yang saat itu masih menyandang status sebagai mahasiswa semester akhir tengah bersiap mengikuti sidang skripsi. Seharusnya, saya bisa menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu. Namun, gempa bumi yang melanda Bengkulu menghadapkan saya kepada realita dan situasi sulit. Akibat dari gempa tidak hanya meluluh lantakkan kota dan perekonomian masyarakat secara umum, saya juga melihat banyak kesulitan yang dialami oleh orang-orang terdekat. Hati kecil saya pun tergerak untuk memohon izin kepada pembimbing akademik agar menunda ujian skripsi saya dan fokus menjadi relawan gempa bumi. Sebagai pembimbing, tentu saja tanggapan pembimbing akademik saya sangat realistis, sebab tinggal selangkah saya lulus. Beliau mengatakan bahwa saya harus menyelesaikan perkuliahan secepatnya.


“Maaf Bu, izinkan saya menjadi mahasiswa untuk 1 semester lagi, ya, Bu..” permohonan saya kepada beliau. Setelah mendengar nasihat dan pesan beliau, akhinya saya diizinkan untuk menunda ujian skripsi. Seketika juga saya fokuskan diri menjadi relawan gempa Bengkulu. Sejumlah aktivitas saya lakukan, mulai dari mengumpulkan dana, pakaian bekas, mencari donatur bahan bangunan, ikut membuka dapur umum dan berbagi tentang trauma healing untuk para korban gempa terutama perempuan dan anak-anak korban gempa. Melalui kegiatan ini pula saya bertemu dengan suami. Mungkin memang sudah jalan Allah.


Tepat di awal tahun 2001, saya menepati janji saya kepada pembimbing akademik saya untuk ikut ujian skripsi. Setelah lulus dua tahun, pada Desember 2003, saya menikah dan ikut suami bertugas di Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu, yang merupakan daerah pesisir pantai lepas di bagian barat Sumatera. Di tahun 2007, gempa bumi kembali mengguncang Bengkulu pada pukul 18:10 WIB dengan kekuatan 8,4 SR. Berbekal dengan pengetahuan dan pengalaman dari gempa Aceh tahun 2004 yang menyebabkan terjadinya Tsunami, maka dengan merasakan guncangan sebesar itu, saya dan suami khawatir Bengkulu akan mengalami kejadian serupa.


Khawatir? Tentu saja. Apalagi saat itu, anak pertama saya masih berusia satu tahun. Namun, kami mencoba untuk tidak panik dan fokus kepada cara menghadapi kondisi sepositif mungkin. Saat itu, suami saya menempati posisi sebagai pimpinan cabang di sebuah perusahaan. Suami saya khawatir dengan kondisi karyawan dan keluarga mereka, ditambah lagi terputusnya jaringan listrik dan telpon membuat kami berkeliling, mendatangi dan memastikan keadaan karyawan dan keluarganya. Kami informasikan kepada mereka untuk berkumpul di satu titik ketinggian yang ada di kota itu. Di sisi lain, kondisi masyarakat umum untuk menyelematkan diri benar-benar tidak terkendali saat itu. Belum lagi karena gempa terjadi di malam hari, turun pula hujan serta rangkaian gempa susulan, Suasana semakin mencekam. Beberapa saat kemudian, kami sampai pada titik berkumpul yang telah ditentukan. Titik tersebut kemudian menjadi tempat pengungsian sementara bagi kami.


Tidak banyak yang kami bawa ke pengungsian saat itu, sehingga hal utama yang kami miliki adalah satu sama lain. Berbekal dari ilmu dan pengalaman saat dulu menjadi relawan gempa, saya dan perkumpulan istri dari perusahaan tempat suami bekerja berinisiatif untuk mengumpulkan kaum perempuan dan anak- anak untuk saling menguatkan. Kami belajar untuk saling berempati, terlepas dari simpang siurnya informasi yang kami terima saat itu. Kami habiskan waktu untuk saling mendengarkan sembari menunggu bantuan datang dari berbagai pihak dan memastikan kondisi sudah aman untuk kembali ke rumah masing-masing. Menurut informasi yang kami terima, hampir 80% dari rumah penduduk rata dengan tanah, sehingga, selama di pengungsian saya dan teman-teman lainnya membuka dapur umum, memberikan apa yang bisa kami berikan. Saat itu, saya tidak membawa tas pakaian, kecuali tas pakaian anak yang memang sudah saya siapkan sebelumnya untuk berjaga-jaga dalam kondisi darurat. Jadi, dengan jumlah yang seadanya, saya bagi beberapa pakaian anak saya kepada anak-anak lainnya yang seusia.


Kami memang tidak berada lama di pengungsian, namun, pengalaman ini mengajarkan banyak hal tentang kebersamaan. Nilainya tidak bisa dibayarkan dengan apapun, kecuali rasa syukur. Dari pengalaman ini, saya belajar banyak tentang makna dari kerelawanan terutama ketika berada dalam situasi survival. Pun saat pandemi ini, nilai-nilai serupa sekiranya masih dapat diterapkan. Saling mengingatkan dan menyambung komunikasi agar orang lain tidak merasa sendirian menghadapi tekanan akibat terdampak. Di saat social distancing mengurangi interaksi fisik, namun messenger atau media sosial dapat menjadi bermanfaat untuk berkomunikasi. Sekadar menyempatkan waktu untuk berbagi kata-kata penyemangat, inspirasi, bertukar resep masakan, menjadi pendengar yang baik, hingga berbagi pengalaman ketika menjalani isolasi mandiri. Hal sederhana ini yang saya coba lakukan secara konsisten agar energi positif dapat terus mengalir dan menyemangati orang-orang di sekitar saya untuk dapat menghadapi keadaan.


Berpikir positif, melakukan hal yang positif, menjadikan diri dan lingkungan bernilai positif adalah makna kerelawanan bagi saya. Dari pengalaman dan keadaan, saya percaya tidak ada sesuatu yang diciptakan Tuhan tanpa hikmah dan pembelajaran positif di dalamnya. Tugas dari manusia adalah terus mencari sisi positif tersebut dan belajar mengamalkannya.

Spread the Kindness